BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Definisi
perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan
overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan
juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata
tersebut sama artinya dengan perjanjian.
Adapula
yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan. Perjanjian
merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan
terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereens temming (persesuaian
kehendak/kata sepakat).
Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut
di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu
melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak
yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak
sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut.
Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz)
perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat
hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, "perjanjian merupakan
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk
menimbulkan suatu akibat hukum".
Menurut
Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji
kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. R. Setiawan,
menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.
Dari
pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah proses interaksi
atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang
satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk
menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.
Selanjutnya
pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH Perdata, ternyata
mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga didalam prakteknya menimbulkan
berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap,
namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut
KUH Perdata tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian
akan selalu ada dua pihak,
di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak
lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang
telah dikemukakan dalam latar belakang, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah
pengertian dari perjanjian?
2.
Apa
saja asas-asas dalam hukum perjanjian?
3.
Apa
saja syarat sahnya suatu perjanjian?
4.
Apa
saja yang menyebabkan hapusnya perjanjian?
5.
Apa
yang dimaksud dengan perjanjian standar?
6.
Apa
saja jenis-jenis kontrak/perjanjian?
7.
Bagaimana
perancangan dan tahap-tahap pembuatan kontrak/perjanjian?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui definisi perjanjian.
2.
Untuk
mengetahui apa saja asas-asas dalam hukum perjanjian.
3.
Untuk
mengetahui apa saja syarat sahnya suatu perjanjian.
4.
Untuk
mengetahui apa saja yang menyebabkan hapusnya perjanjian.
5.
Untuk
mengetahui maksud dari perjanjian standar.
6.
Untuk
mengetahui apa saja jenis-jenis kontrak/perjanjian.
7.
Untuk
mengetahui bagaimana perancangan dan tahap-tahap pembuatan kontrak/perjanjian.
BAB
II
PEMBAHASAN
HUKUM
PERJANJIAN
A. Istilah
dan Pengertian Perjanjian/Kontrak
Menurut
Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa seseorang berjanji kepada seseorang
yang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari
peristiwa itu timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan, yaitu suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak dan
berdasarkan hubungan tersebut pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian akan
menimbulkan suatu perikatan antara dua orang atau pihak yang membuatnya. Dalam
bentuknya, perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji
atau kesanggupan yang diucapkan atau yang ditulis dan yang tertulis disebut
kontrak. Kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang
menciptakan kewajiba untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu (Rai
Widjaya, 2000: 10)[1]
B. Asas-Asas
dalam Hukum Perjanjian
Dalam Hukum Kontrak dikenal banyak asas, di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Asas
Konsensualisme
Asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak
ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai
kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum
dilaksanakan pada saat itu.
Asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis
kontrak karena asas ini hanya berlaku
terhadap kontrak konsesnsual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak ril
tidak berlaku.
2. Asas
Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum
biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kebebasan
berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas
dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:
a.
bebas
menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak
b.
bebas
menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian
c.
bebas
menentukan isi atau klausul perjanjian
d.
bebas
menentukan bentuk perjanjian
e.
kebebasan-kebebasan
lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
3. Asas
Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk
memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang
harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya
undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undng-undang bagi
mereka yang membuatnya.
4. Asas
Itikad Baik
Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal
1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Begitu
pentingnya iktikad baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau
perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu
hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini
membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan
mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing
calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan
penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum
menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang
cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan iktikad baik.[2]
C. Syarat
Sahnya Kontrak/Perjanjian
Menurut
Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:
a. adanya kata sepakat
b. kecakapan untuk membuat perjanjian
c. adanya suatu hal tertentu
d. adanya kausa (sebab) yang halal
Syarat
pertama dan kedua adalah syarat yang harus
dipenuhi oleh subyek suatu
perjanjian, oleh
karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi
oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Adapun
penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan
Kata
sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi
sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling
mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling
bertemu.
Secara garis besar, kesepakatan dapat terjadi secara
tertulis dan tidak tertulis, yang mana kesepakatam yang terjadi secara tidak
tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu, atau
diam-diam.
Di
dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam
Pasal 1321
ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau
penipuan.
2. Kecakapan
Dalam
Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan
lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang
tidak cakap membuat perjanjian:
a. Orang
yang belum dewasa
b. Mereka
yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan
c. Orang perempuan/isteri dalam hal telah
ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Namun
hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang
tidak cakap. Mereka berwenang
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
3.
Adanya
suatu
hal tertentu
Maksud dari suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian
ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok
perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk
memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Di
dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus
mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan
di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).
4. Adanya suatu sebab yang halal
Maksud dari sebab di sini bukanlah
sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab suatu
perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan sebagaimana yang telah
dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi
perjanjian.
Pada
Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab yang halal adalah apabila tidak dilarang
oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat
perjanjian itu batal demi hukum.[3]
D. Hapusnya
Kontrak/Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1381 KUH Perdata, ada 10 cara
penghapusan suatu kontrak/perjanjian, diantaranya:
a.
pembayaran
merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela
b.
penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c.
pembaharuan
utang
d.
perjumpaan
utang atau kompensasi
e.
percampuran
utang
f.
pembebasan
utang
g.
musnahnya
barang yang terutang
h.
batal/pembatalan
i.
berlakunya
suatu syarat batal
j.
lewat
waktu[4]
E.
Kontrak/Perjanjian
Standar (Perjanjian Baku)
Jika
bahasa hukum dibakukan, berarti bahasa hukum ditentukan ukurannya, patokannya,
dan standarnya sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.
Dengan penggunaan perjanjian baku ini, pengusaha akan memperoleh efisiensi
dalam pengeluaran biaya, tenaga, dan waktu (Mariam Darus Badrulzaman, 2005:
46).
Pedoman
secara teoritis
begitu jelas, tetapi dalam pratiknya perjanjian dalam dunia usaha sudah dibuat ”menjadi standar” atau “baku” oleh pihak
yang mempunyai posisi modal yang lebih kuat secara ekonomi dibandingkan dengan konsumen.
Oleh karena itu, biasanya klausul yang tercantum dalam perjanjian standar sangat menguntungkan
pihak pembuat kontrak, sedangkan dalam hal ini konsumen hanya mempunyai dua
pilihan, yaitu diambil atau ditiggalkan kontrak.
Perjanjian
baku dapat dikelompokkan
dalam tiga jenis, yaitu:
1. Perjanjian
baku sepihak, isinya ditentukan oleh pihak yang kuat
kedudukannya didalam perjanjian. Pihak yang kuat ini adalah pihak kreditur
(bank, pengusaha, majikan) yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat
dibandingkan dengan pihak debitur (peminjam, nasabah, buruh).
2. Perjanjian baku yang ditetapkan
pemerintah, mempunyai objek hak-hak atas tanah
dalam bidang agrarian.
3. Perjanjian baku yang ditentukan di
lingkungan notaris dan advokat, adalah perjanjian yang
konsepnya sejak semula telah disediakan untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan
dari anggota masyarakat yang minta bantuan jasa notaris dan jasa advokat yang
bersangkutan.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, perjanjian baku dianggap bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak yang bertanggung
jawab, didalam perjanjian baku kedudukan kreditur dan debitur tidak berimbang. Dalam hal ini telah ada peraturannya
dalam pasal 18 undang-undang RI No. 8 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan
bahwa “pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausul yang letak dan bentuknya sulit trlihat atau tidak dapat di
baca secara jelas atau pengungkapannya yang sulit untuk dimengerti. Setiap
klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (3) dinyatakan batal demi
hukum (null and void ). Artinya,
sejak semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.”[5]
F. Jenis-jenis Kontrak/Perjanjian
1.
Kontrak
Bersyarat
Kontrak
yang digantungkan pada suatu pristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu
akan terjadi. Kontrak
bersyarat ini terbagi
dua, yaitu kontrak dengan syarat tangguh dan kontrak dengan syarat batal.
Suatu
kontrak disebut kontrak dengan syarat tangguh jika untuk lahirnya kontrak tersebut
digantungkan pada suatu pristiwa tertentu yang akan datang dan belum tentu akan terjadi
sedangkan suatu kontrak disebut kontrak dengan syarat batal jika untuk batalnya
atau berakhirnya kontrak tersebut digantungkan pada suatu pristiwa yang akan
datang dan belum tentu terjadi.
2.
Kontrak
dengan Ketepatan
Waktu
Kontrak ini tidak menagguhkan terjadinya
atau lahirnya kontrak, melainkan menangguhkan
pelaksaan kontrak.
Sebagai
contoh bahwa dalam suatu kontrak para pihak menetapkan suatu waktu tertentu
untuk melakukan pembayaran. Ini berarti kontraknya sudah lahir hanya
pembayaranya yang ditentukan pada suatu waktu yang akan datang. Dengan
demikian, pihak kreditor tidak boleh menagih pembayaran tersebut sebelum waktu
yang telah di sepakati telah sampai. Akan tetapi, jika debitur membayar sebelum
jangka waktu tersebut telah sampai, pembayaran trsebut tidak dapat ditarik
kembali.
3.
Kontrak
Alternatif
Kontak
ini jarang ditemui dalam praktik, tetapi hal ini di
mungkinkan dalam hukum kontrak, dalam hal terjadi kontrak alternatif, debitur diperkenankan
untuk memilih salah satu dari beberapa pilihan yang ditentukan dalam kontrak,
misalnya yang menjadi pilihan dalam kontrak tersebut adalah apakah debitur akan
menyerahkan dua ekor kuda atau tiga ekor kerbau, atau
tiga ekor sapi. Dengan demikian, apabila debitur menyerahkan salah satu dari
tiga kemungkinan tersebut, debitur dinyatakan telah memenuhi prestasi, namun
debitur tidak boleh memaksa kreditor untuk menerima sebagian dari
alternatif yang satu dan sebagian dari
alternatif
yang lain.
4.
Kontrak
Tanggung Renteng atau Tanggung Menanggung
Kontrak ini terdiri atas beberapa
orang kreditor, dan dalam kontrak tersebut secara tegas dinyatakan bahwa
masing-masing kreditor berhak untuk menagih seluruh uang atau pembayaran
seluruh utang kepada salah seorang kreditor akan membebaskan debitur pada kreditor lainya.
Dengan demikian, apabila debitur belum digugat di depan penggadilan, debitur berhak memilih kepada
siapa dia akan membayar utangya.
Walaupun
pembayaran seluruh utang kepada salah seorang kreditor menyebabkan bebasnya
debitur terhadap pembayaran kepada kreditor lainya, dalam hal salah seorang
kreditor membebaskan utang debitur tidak berarti bahwa debitur bebas juga dari
kreditor lainya.
5.
Kontrak
yang Dapat Dibagi dan Tak Dapat Dibagi
Kontrak seperti ini tergantung pada
kontrak yang persentasinya berupa barang atau jasa yang dapat di bagi atau
tidak dapat dibagi, baik secara nyata maupun secara perhitungan. Namun
demikian, walaupun barang atau jasa tersebut sifatnya dapat dibagi, suatu
kontrak dianggap tidak dapat dibagi jika berdasarkan maksud kontrak penyerahan
barang atau pelaksanaan jasa tersebut tidak dapat dibagi.
Walaupun
terdapat pembagian atas kontrak yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi, bagi
debitur dan kreditor, semua konttrak pelaksanaannya dianggap tidak dapat dibagi
karena hal dapat dibaginya suatu prestasi kontrak hanya berlaku bagi ahli waris
kedua belah pihak yang tidak dapat menagih utangnya atau tidak berkewajiban
membayar utangnya melainkan hanya untuk bagian masing-masing ahli waris. Hal
yamg sama berlaku bagi orang yang mewakili debitur atau kreditor.
6.
Kontrak
dengan Ancaman Hukuman
Ancaman
hukuman merupakan suatu klausul kontrak yang memberikan jaminan kepada kreditor
bahwa debitur akan memenuhi prestasi, dan ketika debitur tidak memenuhi
prestasi tersebut debitur diwajibkan melakukan sesuatu atau menyerahkan
sesuatu. Ancaman hukuman ini hanya boleh diubah
oleh hakim manakala debitur telah memenuhi sebagian prestasinya.[6]
G. Perancangan
atau Pembuatan Kontrak
1.
Hal
Penting yang Harus Diperhatikan dalam Kontrak
Pembuatan
kontrak tidak disyaratkan suatu format tertentu karena dalam undang-undang
tidak ada ketentuan secara tegas menentukan tentang format kontrak yang baik.
Hal yang paling penting diperhatikan oleh
para pihak adalah syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320
BW, yang intinya mengatur tentang:
1. Kesepakatan
para pihak;
2. Kecakapan
(termasuk juga kewenangan) para pihak;
3. Objek
tertentu;
4. Sebab
yang halal.
2.
Kerangka
atau Anatomi Kontrak
Pada
umunya kontrak terbagi atas bagian
utama:
pendahuluan, isi dan penutup.
Bebeda
dari akta notaris pada umumnya akta dibawah tangan hanya memakai bahasa
sederhana yang dengan mudah dimengerti oleh para pihak sedangkan akta notaris
biasanya memakai bahasa-bahasa standar yang memang diharuskan bagi seorang
notaris. Format-format standar pada permulaan akta yang biasanya memakai kata
yang “berbelit-belit” inilah yang disebut komparisi.
Sebagai
contoh, dapat dikemukakan contoh kontrak yang sederhana sebagai berikut.
KONTRAK
JUAL BELI
Kontrak
jual beli cengkeh (selanjutnya dalam kontak ini disebut kontrak) dibuat dan
ditandatangani di Makassar pada hari kamis 5 Mei 2005, antara:
Nama :
Amadi
Miru
Umur : 44
tahun
Pekerjaan : Dosen
Fakultas Hukum Universitas Hasanudin
Alamat : Perumahan
Dosen Unhas BG.62 Tamalanrea,Makassar
Untuk
selanjutya disebut sebagai pihak pertama
Dengan
Nama : Anwar
HB
Umur : 45
Tahun
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Jl.
Vateran No. 75 Surabaya.
Untuk
selanjutnya disebut pihak kedua
Pihak
pertama dan pihak kedua sepakat untuk melakukan kontrak dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
Selanjutnya
dibuatlah pasal-pasal yang berisi tentang hal-hal yang kita inginkan dalam
kontrak, yang antara lain memuat:
1. barang
apa yang akan diperjualbelikan (sebutkan secara rinci tentang jenis, jumlah,
serta hal lain yang dapat mempertegas tentang barang yang dimaksud);
2. harga
barang tersebut (sebut harga satuan dan jumlah harganya);
3. cara
pembayaran (tunai atau angsuran serta beberapa lama dan beberapa kali
diangsur);
4. tempat
pembayaran (di mana dibayar, di tempat penjual atau di tempat pembeli atau
tempat lain);
5. keadaan
memaksa
dan risiko (bagaimana cara mengatasinya Dn siapa yang menanggung risikonya);
6. konsekuensi
kalau salah satu pihak wanprestasi (sebutkan akibat hukumnya);
7. dan
lain-lain.
Banyaknya
macam syarat yang dicantumkan dalam pasal-pasal tentang persyaratan yang
diinginkan oleh para pihak biasanya sangat tergantung pada besarnya nilai
kontrak atau rumitnya permasalahan pada kontrak tersebut. Namun, yang paling
penting harus diingat bahwa unsur esensial dari kontrak tersebut harus
dicantumkan dalam kontrak sedangkan unsur lainya boleh saja tidak dimuat karena
walaupun tidak diatur oleh para pihak, undang-undanglah yang mengaturnya.
Berbeda
dari akta yang hanya dibuat oleh para pihak (akta di bawah tangan) yang tidak
mengharuskan suatu format tertentu, kontrak yang dibuat dihadapan notaris
memiliki format tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJB) bahwa setiap akta
noyaris terdiri atas:
a. awal
akta atau kepala akta;
b. badan
akta; dan
c. akhir
atau penutup akta.
Masing-masing
bagian tersebut berisi beberapa hal, yakni:
Awal akta atau kepala
akta memuat:
a. judul
akta;
b. nomor
akta;
c. jam,
hari, tanggal, bulan, dan tahun;
d. nama
lengkap dan tempat kedudukan notaries.
Badan akta memuat:
a. nama
lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, jabatan, kedudukan, tempat
tinggal para penghadap dan atau orang yang mereka wakili.
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak
penghadap;
c. isi akta yang merupakan kehendak dan
keinginan dari pihak yang berkepentingan; d
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
serta pekerjaan, jabatan kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
pengenal.
Akhir atau penutup akta
memuat:
a. uraian
tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I
atau Pasal 16 ayat (7) UUJB
b. uraian
tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau perjemahan akta apabila
ada;
c. nama
lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan jabatan, kedudukan, dan tempat
tinggal dari tiap-tiap saksi akta;dan
d. uraian
tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian
tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau
penggantian.
H.
Tahap-tahap
dalam Pembuatan Kontrak Tertulis
Dalam
membuat suatu kontrak biasanya dilakukan dengan melalui beberapa tahap dimulai
sejak adanya pembicaraan awal para
pihak hingga selesainya pelaksanaan kontrak.
Terkadang suatu kontrak didahului oleh nota
kesepahaman atau memorandum of
understanding (MoU). Setelah Penandatanganan MoU (jika ada) , selanjutnya dilakukan
langkah-langkah atau tahap-tahap berikut.
a. pembuatan
draft pertama;
b. pertukaran
draft kontrak;
c. revisi
(jika perlu);
d. penyelesain
akhir;
e. penandatanganan
para pihak.
Tidak
semua kontrak tertulis harus melalui tahap tersebut di atas, karena dapat saja terjadi bahwa hanya satu pihak yang membuat draft kontrak kemudian diserahkan kepada pihak lain untuk mencermati apa-apa yang masih
perlu diperbaiki (ditawar) oleh pihak lainya, kemudian diadakanlah
perbaikan-perbaikan seperlunya hingga terjadi kesepakatan mengenai seluruh
klausul yang terdapat dalam darft kontrak tersebut.
Dengan
demikian, selesailah penandatanganan kontrak oleh kedua belah pihak. Tentu saja
hal ini hanya cocok dilakukan untuk kontrak-kontrak yang nilainya tidak terlalu
tinggi sedangkan untuk kontrak yang nilainya tinggi, sebaiknya para pihak harus
menandatangani kontrak pada tempat dan waktu yang sama.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Menurut
Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa seseorang berjanji kepada seseorang
yang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
2. Dalam hukum kontrak dikenal banyak asas, di antaranya
adalah:
a.
Asas
Konsensualisme
b.
Asas
Kebebasan Berkontrak
c.
Asas
mengikatnya Kontrak
d.
Asas
Iktikad Baik
3.
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu
perjanjian itu sah harus terpenuhi 4
syarat, yaitu:
a.
adanya
kata sepakat
b.
kecakapan
untuk membuat perjanjian
c.
adanya
suatu hal tertentu
d.
adanya
kausa (sebab) yang halal
4.
Jika bahasa hukum dibakukan, berarti
bahasa hukum ditentukan ukurannya, patokannya, dan standarnya sehingga memiliki
arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum. Dengan penggunaan perjanjian baku
ini, pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga, dan
waktu.
5.
Berdasarkan
Pasal 1381 KUH Perdata, ada 10 cara penghapusan suatu kontrak/perjanjian, diantaranya:
a.
pembayaran
merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela
b.
penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c.
pembaharuan
utang
d.
perjumpaan
utang atau kompensasi
e.
percampuran
utang
f.
pembebasan
utang
g.
musnahnya
barang yang terutang
h.
batal/pembatalan
i.
berlakunya
suatu syarat batal
j.
lewat
waktu
6.
Jenis-jenis kontrak/perjanjian:
a.
Kontrak
bersyarat
b.
Kontrak
dengan ketetapan waktu
c.
Kontrak
Alternatif
d.
Kontrak tanggung renteng atau tanggung
menanggung
e.
Kontrak
yang dapat dibagi dan tak dapat dibagi
f.
Kontrak
dengan ancaman hukum
7.
Pada umunya kontrak terbagi atas bagian utama: pendahuluan, isi dan penutup.
8.
Dalam membuat suatu kontrak biasanya
dilakukan dengan melalui beberapa tahap, yakni:
a. pembuatan
draft pertama;
b. pertukaran
draft kontrak;
c. revisi
(jika perlu);
d. penyelesain
akhir;
e. penandatanganan
para pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah,
2012. Hukum Dagang Di Indonesia. Bandung:
Pustaka Setia.
Ahmadi
Miru, 2011. Hukum Kontrak dan Perancangan
Kontrak. Jakarta: RajawaliPers.
_____
Diperoleh 15 Maret 2015, dari: httprepository.usu.ac.idbitstream123456789238873Chapter%20II.pdf (diakses: 15
Maret 2015)
Elsi
Kartika Sari & Advendi Simanunsong, Hukum
dalam Ekonomi, (Jakarta: Grasindo, 2008) h.36-37
[1]Pipin
Syarifin & Dedah Jubaedah, Hukum
Dagang Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 215-216
[2]Ahmadi
Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan
Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 3-7
[3]httprepository.usu.ac.idbitstream123456789238873Chapter%20II.pdf (akses: 15 Maret 2015, pukul 20.30 WIB)
[4]Elsi Kartika Sari & Advendi Simanunsong, Hukum dalam Ekonomi, (Jakarta: Grasindo,
2008) h.36-37
[5]Pipin
Syarifin & Dedah Jubaedah, op.cit., h. 226-228
[6]Ahmadi
Miru, op. cit., h. 52-60