Hukum Perjanjian

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.
Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan. Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereens temming (persesuaian kehendak/kata sepakat).
 Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum".
Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.
Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH Perdata, ternyata mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga didalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUH Perdata tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan dalam latar belakang, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian dari perjanjian?
2.      Apa saja asas-asas dalam hukum perjanjian?
3.      Apa saja syarat sahnya suatu perjanjian?
4.      Apa saja yang menyebabkan hapusnya perjanjian?
5.      Apa yang dimaksud dengan perjanjian standar?
6.      Apa saja jenis-jenis kontrak/perjanjian?
7.      Bagaimana perancangan dan tahap-tahap pembuatan kontrak/perjanjian?


C.    Tujuan
                                 
1.      Untuk mengetahui definisi perjanjian.
2.      Untuk mengetahui apa saja asas-asas dalam hukum perjanjian.
3.      Untuk mengetahui apa saja syarat sahnya suatu perjanjian.
4.      Untuk mengetahui apa saja yang menyebabkan hapusnya perjanjian.
5.      Untuk mengetahui maksud dari perjanjian standar.
6.      Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis kontrak/perjanjian.
7.      Untuk mengetahui bagaimana perancangan dan tahap-tahap pembuatan kontrak/perjanjian.




















BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM PERJANJIAN

A.       Istilah dan Pengertian Perjanjian/Kontrak

 Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa seseorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa itu timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan, yaitu suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak dan berdasarkan hubungan tersebut pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan antara dua orang atau pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan yang diucapkan atau yang ditulis dan yang tertulis disebut kontrak. Kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiba untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu (Rai Widjaya, 2000: 10)[1]

B.     Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian
Dalam Hukum Kontrak dikenal banyak asas, di antaranya adalah sebagai berikut:

1.      Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu.
Asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak  karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak konsesnsual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak ril tidak berlaku.

2.      Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:
a.          bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak
b.         bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian
c.          bebas menentukan isi atau klausul perjanjian
d.         bebas menentukan bentuk perjanjian
e.          kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

3.      Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undng-undang bagi mereka yang membuatnya.

4.      Asas Itikad Baik
Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Begitu pentingnya iktikad baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan iktikad baik.[2]

C.       Syarat Sahnya Kontrak/Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:
a.       adanya kata sepakat
b.      kecakapan untuk membuat perjanjian
c.       adanya suatu hal tertentu
d.      adanya kausa (sebab) yang halal
Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:

1.      Kesepakatan
Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.
Secara garis besar, kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang mana kesepakatam yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu, atau diam-diam.
Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan.

2.      Kecakapan
Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:
a.       Orang yang belum dewasa
b.      Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan
c.       Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.

3.      Adanya suatu hal tertentu
Maksud dari suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).

4.      Adanya suatu sebab yang halal
Maksud dari sebab di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian.
Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.[3]

D.    Hapusnya Kontrak/Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1381 KUH Perdata, ada 10 cara penghapusan suatu kontrak/perjanjian, diantaranya:
a.       pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela
b.      penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c.       pembaharuan utang
d.      perjumpaan utang atau kompensasi
e.       percampuran utang
f.       pembebasan utang
g.      musnahnya barang yang terutang
h.      batal/pembatalan
i.        berlakunya suatu syarat batal
j.        lewat waktu[4]

E.     Kontrak/Perjanjian Standar (Perjanjian Baku)
Jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahasa hukum ditentukan ukurannya, patokannya, dan standarnya sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum. Dengan penggunaan perjanjian baku ini, pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga, dan waktu (Mariam Darus Badrulzaman, 2005: 46).
Pedoman secara teoritis begitu jelas, tetapi dalam pratiknya perjanjian dalam dunia usaha sudah dibuat ”menjadi standar” atau “baku” oleh pihak yang mempunyai posisi modal yang lebih kuat secara ekonomi dibandingkan dengan konsumen. Oleh karena itu, biasanya klausul yang tercantum dalam perjanjian standar sangat menguntungkan pihak pembuat kontrak, sedangkan dalam hal ini konsumen hanya mempunyai dua pilihan, yaitu diambil atau ditiggalkan kontrak.
Perjanjian baku dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu:
1.      Perjanjian baku sepihak, isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian. Pihak yang kuat ini adalah pihak kreditur (bank, pengusaha, majikan) yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan dengan pihak debitur (peminjam, nasabah, buruh).
2.      Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, mempunyai objek hak-hak atas tanah dalam bidang agrarian.
3.      Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris dan advokat, adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula telah disediakan untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan jasa notaris dan jasa advokat yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian baku dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, didalam perjanjian baku kedudukan kreditur dan debitur tidak berimbang. Dalam hal ini telah ada peraturannya dalam pasal 18 undang-undang RI No. 8 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa “pelaku usaha  dilarang mencantumkan klausul yang letak dan bentuknya sulit trlihat atau tidak dapat di baca secara jelas atau pengungkapannya yang sulit untuk dimengerti. Setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (3) dinyatakan batal demi hukum (null and void ). Artinya, sejak semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.”[5]

F.     Jenis-jenis Kontrak/Perjanjian

1.      Kontrak Bersyarat
Kontrak yang digantungkan pada suatu pristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu akan terjadi. Kontrak bersyarat ini terbagi dua, yaitu kontrak dengan syarat tangguh dan kontrak dengan syarat batal.
Suatu kontrak disebut kontrak dengan syarat tangguh jika untuk lahirnya kontrak tersebut digantungkan pada suatu pristiwa tertentu yang akan datang dan belum tentu akan terjadi sedangkan suatu kontrak disebut kontrak dengan syarat batal jika untuk batalnya atau berakhirnya kontrak tersebut digantungkan pada suatu pristiwa yang akan datang dan belum tentu terjadi.

2.      Kontrak dengan Ketepatan Waktu
Kontrak ini tidak menagguhkan terjadinya atau lahirnya kontrak, melainkan menangguhkan pelaksaan kontrak.
Sebagai contoh bahwa dalam suatu kontrak para pihak menetapkan suatu waktu tertentu untuk melakukan pembayaran. Ini berarti kontraknya sudah lahir hanya pembayaranya yang ditentukan pada suatu waktu yang akan datang. Dengan demikian, pihak kreditor tidak boleh menagih pembayaran tersebut sebelum waktu yang telah di sepakati telah sampai. Akan tetapi, jika debitur membayar sebelum jangka waktu tersebut telah sampai, pembayaran trsebut tidak dapat ditarik kembali.

3.      Kontrak Alternatif
Kontak ini jarang ditemui dalam praktik, tetapi hal ini di mungkinkan dalam hukum kontrak, dalam hal terjadi kontrak alternatif, debitur diperkenankan untuk memilih salah satu dari beberapa pilihan yang ditentukan dalam kontrak, misalnya yang menjadi pilihan dalam kontrak tersebut adalah apakah debitur akan menyerahkan dua ekor kuda atau tiga ekor kerbau, atau tiga ekor sapi. Dengan demikian, apabila debitur menyerahkan salah satu dari tiga kemungkinan tersebut, debitur dinyatakan telah memenuhi prestasi, namun debitur tidak boleh memaksa kreditor untuk menerima sebagian dari alternatif  yang satu dan sebagian dari alternatif yang lain.

4.      Kontrak Tanggung Renteng atau Tanggung Menanggung
Kontrak ini terdiri atas beberapa orang kreditor, dan dalam kontrak tersebut secara tegas dinyatakan bahwa masing-masing kreditor berhak untuk menagih seluruh uang atau pembayaran seluruh utang kepada salah seorang kreditor akan membebaskan debitur pada kreditor lainya. Dengan demikian, apabila debitur belum digugat di depan penggadilan, debitur berhak memilih kepada siapa dia akan membayar utangya.
Walaupun pembayaran seluruh utang kepada salah seorang kreditor menyebabkan bebasnya debitur terhadap pembayaran kepada kreditor lainya, dalam hal salah seorang kreditor membebaskan utang debitur tidak berarti bahwa debitur bebas juga dari kreditor lainya.

5.      Kontrak yang Dapat Dibagi dan Tak Dapat Dibagi
Kontrak seperti ini tergantung pada kontrak yang persentasinya berupa barang atau jasa yang dapat di bagi atau tidak dapat dibagi, baik secara nyata maupun secara perhitungan. Namun demikian, walaupun barang atau jasa tersebut sifatnya dapat dibagi, suatu kontrak dianggap tidak dapat dibagi jika berdasarkan maksud kontrak penyerahan barang atau pelaksanaan jasa tersebut tidak dapat dibagi.
Walaupun terdapat pembagian atas kontrak yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi, bagi debitur dan kreditor, semua konttrak pelaksanaannya dianggap tidak dapat dibagi karena hal dapat dibaginya suatu prestasi kontrak hanya berlaku bagi ahli waris kedua belah pihak yang tidak dapat menagih utangnya atau tidak berkewajiban membayar utangnya melainkan hanya untuk bagian masing-masing ahli waris. Hal yamg sama berlaku bagi orang yang mewakili debitur atau kreditor.

6.      Kontrak dengan Ancaman Hukuman
Ancaman hukuman merupakan suatu klausul kontrak yang memberikan jaminan kepada kreditor bahwa debitur akan memenuhi prestasi, dan ketika debitur tidak memenuhi prestasi tersebut debitur diwajibkan melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu. Ancaman hukuman ini hanya boleh diubah oleh hakim manakala debitur telah memenuhi sebagian prestasinya.[6]

G.    Perancangan atau Pembuatan Kontrak

1.      Hal Penting yang Harus Diperhatikan dalam Kontrak
Pembuatan kontrak tidak disyaratkan suatu format tertentu karena dalam undang-undang tidak ada ketentuan secara tegas menentukan tentang format kontrak yang baik.
Hal yang paling penting diperhatikan oleh para pihak adalah syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 BW, yang intinya mengatur tentang:
1.      Kesepakatan para pihak;
2.      Kecakapan (termasuk juga kewenangan) para pihak;
3.      Objek tertentu;
4.      Sebab yang halal.

2.      Kerangka atau Anatomi Kontrak
Pada umunya kontrak terbagi atas bagian utama: pendahuluan, isi dan penutup.
Bebeda dari akta notaris pada umumnya akta dibawah tangan hanya memakai bahasa sederhana yang dengan mudah dimengerti oleh para pihak sedangkan akta notaris biasanya memakai bahasa-bahasa standar yang memang diharuskan bagi seorang notaris. Format-format standar pada permulaan akta yang biasanya memakai kata yang “berbelit-belit” inilah yang disebut komparisi.
Sebagai contoh, dapat dikemukakan contoh kontrak yang sederhana sebagai berikut.

KONTRAK JUAL BELI

Kontrak jual beli cengkeh (selanjutnya dalam kontak ini disebut kontrak) dibuat dan ditandatangani di Makassar pada hari kamis 5 Mei 2005, antara:
Nama         :           Amadi Miru
Umur         :           44 tahun
Pekerjaan   :           Dosen  Fakultas Hukum Universitas Hasanudin
Alamat      :           Perumahan Dosen Unhas BG.62 Tamalanrea,Makassar
Untuk selanjutya disebut sebagai pihak pertama
Dengan
Nama         :           Anwar HB
Umur         :           45 Tahun
Pekerjaan   :           Pedagang
Alamat      :          Jl. Vateran No. 75 Surabaya.
Untuk selanjutnya disebut pihak kedua
Pihak pertama dan pihak kedua sepakat untuk melakukan kontrak dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Selanjutnya dibuatlah pasal-pasal yang berisi tentang hal-hal yang kita inginkan dalam kontrak, yang antara lain memuat:
1.      barang apa yang akan diperjualbelikan (sebutkan secara rinci tentang jenis, jumlah, serta hal lain yang dapat mempertegas tentang barang yang dimaksud);
2.      harga barang tersebut (sebut harga satuan dan jumlah harganya);
3.      cara pembayaran (tunai atau angsuran serta beberapa lama dan beberapa kali diangsur);
4.      tempat pembayaran (di mana dibayar, di tempat penjual atau di tempat pembeli atau tempat lain);
5.      keadaan  memaksa dan risiko (bagaimana cara mengatasinya Dn siapa yang menanggung risikonya);
6.      konsekuensi kalau salah satu pihak wanprestasi (sebutkan akibat hukumnya);
7.      dan lain-lain.
Banyaknya macam syarat yang dicantumkan dalam pasal-pasal tentang persyaratan yang diinginkan oleh para pihak biasanya sangat tergantung pada besarnya nilai kontrak atau rumitnya permasalahan pada kontrak tersebut. Namun, yang paling penting harus diingat bahwa unsur esensial dari kontrak tersebut harus dicantumkan dalam kontrak sedangkan unsur lainya boleh saja tidak dimuat karena walaupun tidak diatur oleh para pihak, undang-undanglah yang mengaturnya.
Berbeda dari akta yang hanya dibuat oleh para pihak (akta di bawah tangan) yang tidak mengharuskan suatu format tertentu, kontrak yang dibuat dihadapan notaris memiliki format tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang  Nomor 30 Tahun 2004 tentang  Jabatan Notaris (UUJB) bahwa setiap akta noyaris terdiri atas:
a.       awal akta atau kepala akta;
b.      badan akta; dan
c.       akhir atau penutup akta.

Masing-masing bagian tersebut berisi beberapa hal, yakni:
Awal akta atau kepala akta memuat:
a.       judul akta;
b.      nomor akta;
c.       jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun;
d.      nama lengkap dan tempat kedudukan notaries.

Badan akta memuat:
a.       nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan atau orang yang mereka wakili.
b.      keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c.       isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; d
d.      nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

Akhir atau penutup akta memuat:
a.       uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7) UUJB
b.      uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau perjemahan akta apabila ada;
c.       nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta;dan
d.      uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.

H.    Tahap-tahap dalam Pembuatan Kontrak Tertulis
Dalam membuat suatu kontrak biasanya dilakukan dengan melalui beberapa tahap dimulai sejak adanya pembicaraan awal para pihak hingga selesainya pelaksanaan kontrak.
Terkadang suatu kontrak didahului oleh nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU). Setelah Penandatanganan MoU (jika ada) , selanjutnya dilakukan langkah-langkah atau tahap-tahap berikut.
a.       pembuatan draft pertama;
b.      pertukaran draft kontrak;
c.       revisi (jika perlu);
d.      penyelesain akhir;
e.       penandatanganan para pihak.
Tidak semua kontrak tertulis harus melalui tahap tersebut di atas, karena dapat saja terjadi bahwa hanya satu pihak yang membuat draft kontrak kemudian diserahkan kepada pihak lain untuk mencermati apa-apa yang masih perlu diperbaiki (ditawar) oleh pihak lainya, kemudian diadakanlah perbaikan-perbaikan seperlunya hingga terjadi kesepakatan mengenai seluruh klausul yang terdapat dalam darft kontrak tersebut.
Dengan demikian, selesailah penandatanganan kontrak oleh kedua belah pihak. Tentu saja hal ini hanya cocok dilakukan untuk kontrak-kontrak yang nilainya tidak terlalu tinggi sedangkan untuk kontrak yang nilainya tinggi, sebaiknya para pihak harus menandatangani kontrak pada tempat dan waktu yang sama.[7]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.       Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa seseorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
2.      Dalam hukum kontrak dikenal banyak asas, di antaranya adalah:
a.       Asas Konsensualisme
b.      Asas Kebebasan Berkontrak
c.       Asas mengikatnya Kontrak
d.      Asas Iktikad Baik
3.      Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:
a.       adanya kata sepakat
b.      kecakapan untuk membuat perjanjian
c.       adanya suatu hal tertentu
d.      adanya kausa (sebab) yang halal
4.      Jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahasa hukum ditentukan ukurannya, patokannya, dan standarnya sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum. Dengan penggunaan perjanjian baku ini, pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga, dan waktu.
5.      Berdasarkan Pasal 1381 KUH Perdata, ada 10 cara penghapusan suatu kontrak/perjanjian, diantaranya:
a.       pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela
b.      penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c.       pembaharuan utang
d.      perjumpaan utang atau kompensasi
e.       percampuran utang
f.       pembebasan utang
g.      musnahnya barang yang terutang
h.      batal/pembatalan
i.        berlakunya suatu syarat batal
j.        lewat waktu
6.      Jenis-jenis kontrak/perjanjian:
a.       Kontrak bersyarat
b.      Kontrak dengan ketetapan waktu
c.       Kontrak Alternatif
d.       Kontrak tanggung renteng atau tanggung menanggung
e.       Kontrak yang dapat dibagi dan tak dapat dibagi
f.       Kontrak dengan ancaman hukum
7.      Pada umunya kontrak terbagi atas bagian utama: pendahuluan, isi dan penutup.
8.      Dalam membuat suatu kontrak biasanya dilakukan dengan melalui beberapa tahap, yakni:
a.       pembuatan draft pertama;
b.      pertukaran draft kontrak;
c.       revisi (jika perlu);
d.      penyelesain akhir;
e.       penandatanganan para pihak.








DAFTAR PUSTAKA

           Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah, 2012. Hukum Dagang Di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.  
           Ahmadi Miru, 2011. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: RajawaliPers.
           _____ Diperoleh 15 Maret 2015, dari: httprepository.usu.ac.idbitstream123456789238873Chapter%20II.pdf  (diakses: 15 Maret 2015)
           Elsi Kartika Sari & Advendi Simanunsong, Hukum dalam Ekonomi, (Jakarta: Grasindo, 2008) h.36-37





[1]Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah, Hukum Dagang Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 215-216
[2]Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 3-7
[3]httprepository.usu.ac.idbitstream123456789238873Chapter%20II.pdf  (akses: 15 Maret 2015, pukul  20.30 WIB)
[4]Elsi Kartika Sari & Advendi Simanunsong, Hukum dalam Ekonomi, (Jakarta: Grasindo, 2008) h.36-37
[5]Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah, op.cit., h. 226-228
[6]Ahmadi Miru, op. cit., h. 52-60
[7] Ibid, h. 147-162

Subscribe to receive free email updates: