BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sebelum masyarakat
mengenal alat tukar (dinar, dirham dan uang), masyarakat
lebih dahulu mengenal yang disebut dengan barter, yang mana sistem barter itu adalah menukar barang dengan
barang yang berbeda.
Dalam hal barter barang
yang di tukar tidak di lihat kadar dari suatu barang yang akan ditukarkan, seperti halnya ketika mendapatkan suatu barang
yang mereka ingikan
dengan cara menukar barang
dengan barang yang lain. Kadar dari suatu barang
tersebut pun bervariasi, Karena pada saat bertransaksi tidak ada suatu penetapan atau kadar nilai dari suatu
barang yang akan ditukarkan, yang pada akhirnya
tidak ada asas keadilan atau
kemaslahatan pada saat bertransaksi, dengan begitu
banyak yang menukarkan
barangnya dengan barang yang tidak sepadan dengan
apa yang didapat setelah bertransaksi ketika itu.
Ketika itulah dinar dan dirham
mulai muncul sebagai salah satu acuan dalam
bertransaksi jual beli atau tukar menukar barang. Dinar dan dirham pada saat itu
menjadi sebuah alat tukar bagi masyarakat, yang mana suatu barang akan di ukur
kadar nya oleh dinar dan dirham, sehingga ketika dinar dan dirham menjadi salah
satu alat tukar guna menjadi patokan nilai dari suatu barang yang akan di tukarkan,
akan menjadi jelas, dan maslahat bagi semua
masyarakat. Karena dengan adanya alat tukar dinar dan dirham semua masalah dalam
bertransaksi terpecahkan.
Namun dalam perkembangannya fungsi utama uang sebagai alat tukar
itu mulai bergeser, dalam ekonomi sistem kapitalis fungsi uang selain sebagai alat tukar, juga dijadikan sebagai komoditas
sehingga uang diperjual
belikan layaknya sebagai suatu komoditas. Dalam konsep keuangan modern yang diajarkan oleh kaum Kapitalis dan
Sosialis, uang menjadi obyek perdagangan. Dalam konsep keuangan modern, perdagangan uang
merupakan instrumen penting dalam sistem perekonomian.
Inilah yang menjadi perdebatan dalam sistem ekonomi Islam, bagaimana fungsi uang yang sesungguhnya. Apakah
uang hanya berfungsi sebagai alat tukar, sebagaimana
fungsi uang pada masa awalnya ataukah uang bisa dianggap sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan. Tulisan ini
akan mengulas bagaimana persepektif ekonomi Islam tentang
uang.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah uang?
2. Bagaimana sejarah uang pada masa pemerintahan Islam?
3. Apa definisi uang dalam Islam?
4. Apa fungsi dari uang?
5. Bagaimana hakikat uang kontemporer dalam Islam?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah uang
2. Untuk mengetahui sejarah uang pada masa pemerintahan
Islam
3. Untuk mengetahui pengertian uang dalam Islam
4. Untuk mengetahui fungsi uang
5. Untuk mengetahui hakikat uang kontemporer dalam Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Uang
Pada peradaban awal, manusia memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Karena
jenis kebutuhannya masih sederhana, mereka belum membutuhkan orang lain. Dalam
periode yang dikenal sebagai periode prabarter ini, manusia belum mengenal
transaksi perdagangan atau kegiatan jual beli.
Ketika jumlah manusia semakin bertambah dan peradabannya semakin maju,
kegiatan dan interaksi antarsesama manusia pun meningkat tajam. Jumlah dan
jenis kebutuhan manusia juga semakin beragam. Ketika itulah masing-masing
individu mulai tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Satu sama lain mulai
saling membutuhkan. Sejak saat itulah manusia mulai menggunakan cara barter
guna memenuhi kebutuhan mereka.
Pertukaran barter ini mensyaratkan adanya keinginan yang sama pada waktu
yang bersamaan (double coindence of wants)
dari piahk-pihak yang melakukan pertukaran ini. Namun semakin beragam kebutuhan
manusia, semakin sulit menciptakan situasi tersebut. Keadaan tersebut tentu
akan mempersulit muamalah antar manusia. Itulah sebabnya diperlukan suatu alat
tukar yang dapat diterima oleh semua pihak. Alat tukar tersebut kemudian
disebut uang. Pertama kali, uang dikenal dalam peradaban Sumeria dan Babylonia.
Uang kemudian berkembang dan berevolusi mengikuti perjalanan sejarah. Dari
perkembangan inilah, uang kemudian bisa dikategorikan dalam tiga jenis, yakni
uang barang, uang kertas, dan uang giral atau uang kredit.
1.
Uang barang (commodity
money)
Uang barang adalah alat tukar yang memiliki
nilai komoditas atau bisa diperjual belikan
apabila barang
tersebut digunakan bukan sebagai uang, namun tidak semua barang bisa menjadi uang. Diperlukan tiga
kondisi utama yaitu:
a. Kelangkaan
(scarcity), persediaan barang tersebut harus terbatas.
b. Daya
tahan (durability), barang itu harus tahan lama.
c. Nilai
tinggi, barang yang dijadikan uang harus
bernilai tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak dalam melakukan transaksi.
Kemudian pilihan uang jatuh
pada logam-logam mulia seperti emas dan perak, karena keduanya memiliki nilai tinggi dan tahan
lama serta dapat dipecah-pecah menjadi pecahan kecil
dan tetap memiliki nilai yang utuh.
2.
Uang tanda/kertas (token
money)
Ketika uang logam masih
digunakan sebagai uang resmi dunia ada beberapa pihak yang melihat peluang meraih
keuntungan dari kepemilikan mereka atas emas dan perak. Pihak tersebut ada bank, orang yang
meminjamkan uang dan pandai emas atau
toko-toko perhiasan. Mereka melihat bukti
peminjaman, penyimpanan atau penitipan emas dan perak di tempat mereka juga bisa diterima
dipasar.
Berdasarkan hal itu
pandai emas dan bank mengeluarkan surat (uang kertas) dengan nilai yang besar dari emas dan perak
yang dimilikinya. Karena uang kertas itu didukung dengan
kepemilikan atas emas dan perak, masyarakat umum menerima uang kertas itu sebagai alat tukar. Jadi aspek
penerimaan masyarakat secara luas dan umum berlaku, sehingga menjadikan uang kertas sebagai
alat tukar yang sah.
Ini berlanjut hingga
uang kertas berlaku sebagai
alat tukar yang dominan dan semua sistem perekonomian menggunakannya sebagai alat tukar utama. Bahkan
sekarang uang yang dikeluarkan oleh bank sentral tidak lagi didukung oleh cadangan emas.
3.
Uang giral (deposit money)
Uang giral adalah uang yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial melalui
pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya. Uang giral ini merupakan
simpanan nasabah di bank yang dapat diambil setiap saat dan dapat dipindahkan
ke orang lain untuk melakukan pembayaran. Artinya cek dan giro yang dikeluarkan
oleh bank manapun bisa digunakan sebagai alat pembayaran barang, jasa dan
utang. Kelebihan uang giral sebagai alat pembayaran adalah:
a.
Kalau
hilang dapat dilacak kembali sehingga tidak bisa diuangkan oleh yang tidak
berhak
b.
Dapat
dipindahkan dengan cepat dan ongkos yang rendah
c.
Tidak
diperlukan uang kembali sebab cek dapat ditulis sesuai dengan nilai transaksi.
Namun dibalik kelebihan sistem ini, sesungguhnya tersimpan bahaya besar.
Kemudahan perbankan menciptakan uang giral – ditambah dengan instrumen bunga
bank – membuka peluang terjadinya uang beredar yang lebih besar daripada
transaksi riilnya. Inilah yang kemudian menjadi pertumbuhan ekonomi yang semu.[1]
2.2 Uang
Pada Masa Pemerintahan Islam
1.
Uang pada masa kenabian
Bangsa Arab
di Hijaz pada masa jahiliah belum memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham perak Dinasti
Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa
Himyar, Yaman. Penduduk Makkah
tidak memperjualbelikan kecuali sebagai emas yang tidak ditempa dan tidak
menerimanya kecuali dalam ukuran timbangan. Hal ini disebabkan beragamnya
bentuk dirham dan ukurannya dan muncul penipuan pada mata uang mereka seperti
nilai tertera yang melebihi dari nilai sebenarnya.
Berdasarkan sejarah Islam, pada masa Rasulullah Saw. mata uang menggunakan
sistem bimetallism standard (emas dan
perak) demikian juga pada masa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Dalam pandangan
Islam mata uang yang paling stabil dan tidak mungkin terjadi krisis moneter
karena nilai intrinsik sama dengan nilai riil. Mata uang ini dipergunakan
bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Nabi SAW memerintahkan penduduk Madinah
untuk mengikuti ukuran timbangan penduduk Makkah ketika berinteraksi ekonomi,
dengan menggunakan dirham dalam jumlah bilangan bukan ukuran timbangan.
2.
Uang pada masa Khulafaurrasyidin
Ketika Abu Bakar di bai’at menjadi khalifah, beliau tidak melakukan
perubahan terhadap mata uang yang beredar, bahkan menetapkan apa yang sudah
berjalan dari masa Nabi SAW. Begitu juga ketika Umar bin Khattab di bai’at
sebagai khalifah, karena beliau sibuk melakukan penyebaran Islam ke berbagai
negara, beliau menetapkan persoalan uang sebagaimana yang sudah berlaku.
3.
Uang pada masa Dinasti Umayah
Pencetakan uang pada masa Dinasti Umayah masih meneruskan model Sasanid
dengan menambahkan beberapa kalimat tauhid, sepeti pada masa Khulafaurrasyidin.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, pada tahun 78 H, beliau membuat mata uang
Islam yang bernafaskan model Islam tersendiri. Dengan adanya pencetakan mata
uang Islam, hal ini mampu untuk merealisasikan stabilitas politik dan ekonomi,
mengurangi pemalsuan dan manipulasi terhadap mata uang.
4.
Uang pada masa Dinasti Abbasiyah dan sesudahnya
Pada masa ini pencetakan dinar masih melanjutkan cara Dinasti Uamyah. Pada
masa ini ada dua fase, tentang masalah pencetakan uang, yaitu:
a. Fase pertama: Terjadi pengurangan terhadap ukuran dirham
kemudian dinar
b. Fase kedua: Ketika pemerintahan melemah dan para pembantu
dari orang Turki ikut serta mencampuri urusan negara. Ketika itu pembiayaan
semakin besar, orang-orang sudah menuju kemewahan sehingga uang tidak lagi
mencukupi kebutuhan.
Pada masa pemerintahan Mamalik, pencetakan uang tembaga (fulus) menjadi
mata uang utama dan pencetakan dirham dihentikan karena beberapa sebab:
a. Penjualan perak ke negara-negara Eropa
b. Impor tembaga dari negara-negara Eropa semakin bertambah,
akibat dari peningkatan produksi pertambangan di sebagian besar wilayah Eropa
c. Meningkatnya konsumsi perak untuk pembuatan pelana dan
bejana[2]
2.3 Definisi
Uang
Dalam
Islam
Secara etimologi
definisi uang (nuqud) ada beberapa macam, diantaranya :
1.
Al-naqdu : yang baik dari dirham “dirhamun
naqdu” yaitu dirham yang baik, menunjukan
sifat
2.
Al-naqdu : tunai, membayar bayaran segera. Dalam hadits
Jabir “naqadamil al-tsaman artinya dia membayarku harga
tunai.
Pada umumnya para
fuqaha menggunakan istilah nuqud dalam menyebutkan uang,
kata nuqud tidak terdapat dalam al-qur‟an maupun hadits Nabi SAW, karena bangsa
Arab umunya tidak menggunakan bahasa
nuqud untuk menunjukan nilai harga. Mereka menyebutkan kata dinar
untuk mata uang yang terbuat dari emas dan dirham untuk
alat bayar yang terbuat dalam perak.
Adapun definisi menurut
para ahli ekonomi adalah sebagai berikut :
1.
Menurut
Dr. Muhammad Zaki Syafi‟i mendefinisikan uang sebagai, “Segala sesuatu yag diterima
oleh khalayak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban.”
2. J. P Coraward mendefinisikan
uang sebagai,
“Segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai media
pertukaran, sekaligus berfungsi sebagai
standar ukuran nilai harga dan media penyimpan kekayaan.”
3. Boumoul dan Gandlre berkata:
“Uang mencakup seluruh sesuatu yang diterima secara luas sebagai alat
pembayaran, diakuai secara luas
sebagai alat pembayaran utang-utang dan pembayaran harga barang
dan jasa.”
4. Dr.
Nazhim al-Syamry
berkata: “Setiap sesuatu yang diterima semua pihak dengan legalitas tradisi ‘Urf atau
undang-undang, atau nilai
sesuatu itu sendiri, dam mampu berfungsi sebagai media dalam proses transaksi pertukaran yang
beragam terhadap komoditi dan
jasa, juga cocok untuk menyelesaikan utang-piutang dan tanggungan,
adalah termasuk dala lingkup uang.”
5.
Dr.
Sahir Hasan berkata: “Uang adalah pengganti materi terhadap segala
aktivitas ekonomi, yaitu media atau alat yang memberikan kepada pemiliknya daya beli untuk
memenuhi kebutuhannya, juga dari
segi peraturan perundangan menjadi alat bagi pemiliknya untuk memenuhi segala kewajibannya.[3]
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa
definisi uang adalah sebagai alat yang mempunyai nilai tukar suatu barang
yang akan di dapatkan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dan mempunyai
legalitas perundang-undangan yang diberlakukan oleh suatu instansi pemerintahan.
Beberapa ekonomi modern
menjelaskan pemikiran imam Al-Gazhali dengan konsep flow concept, dalam konsep ini uang dipahami sebagai
sesuatu yang harus mengalir. Bukan difahami sebagai stock concept yang dapat ditahan oleh
seseorang. Hal ini yang menjadi pembeda antara uang
dalam perspektif ekonomi islam dengan perspektif
ekonomi konvensional. Para
pemikir ekonomi konvensional
memposisikan uang sebagai stock concept. Pandangan ini bertolak belakang dengan prinsip uang yang diacu dalam ekonomi islam. Pandangan islam ini
mengenai uang sesuai dengan
tuntunan dalam QS. Al-Hasyr : 7[4]
“Harta
rampasan fa’i
yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk
beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim,
orang-orang miskin, dan orang –orang dalam perjalanan, agar harta
itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya
saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada
Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukumnya.” (QS. Al-Hasyr : 7)
2.4 Fungsi
Uang
Dalam sistem perekonomian manapun, fungsi utama uang adalah sebagai alat
tukar (medium of exchange). Dari
fungsi utama ini diturunkan fungsi-fungsi lain seperti
uang sebagai standard of value (pembakuan nilai), store of value
(penyimpan kekayaan), unit
of account (satuan
penghitungan), dan standard of deferred payment (pembakuan pembayaran tangguh).
Mata uang manapun niscaya akan berfungsi seperti ini. Dalam sistem perekonomian kapitalis, uang
dipandang tidak saja sebagai alat tukar yang sah (legal
tender)
melainkan juga dipandang sebagai komoditas. Dengan demikian, menurut sistem ini, uang dapat diperjual
belikan dengan kelebihan baik on the spot maupun
secara tangguh. Dalam
perspektif ini uang juga dapat disewakan (leasing).
Dalam Islam, apapun
yang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai medium of exchange. Ia bukan suatu komoditas yang bisa
dijualbelikan dengan kelebihan
baik secara on the spot maupun bukan.
Satu fenomena penting dari karakteristik
uang adalah bahwa ia tidak diperlukan untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya sendiri,
melainkan diperlukan untuk membeli barang yang lain
sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Inilah yang dijelaskan oleh Imam Ghazali bahwa emas dan perak hanyalah logam yang di dalam substansinya (zatnya itu sendiri) tidak ada manfaatnya atau
tujuannnya. Menurut beliau dalam kitabnya Ihya Ulumiddin
“Kedua-duanya
tidak memiliki apa-apa tetapi keduanya berarti
segala-galanya”. Keduanya ibarat cermin, ia tidak memiliki warna
namun ia bisa mencerminkan semua warna.
Ketika uang diperlakukan sebagai komoditas oleh
sistem kapitalis, sehingga berkembanglah apa yang disebut
dengan pasar uang. Terbentuknya pasar uang ini menghasilkan dinamika yang khas dalam perekonomian konvensional,
terutama dalam sektor moneter. Transaksi
di pasar uang ini tidak
berlandaskan pada motif transaksi yang riil sepenuhnya, bahkan sebagian besar
di antaranya mengandung motif spekulasi. Maka tak heran jika perkembangan di pasar moneter
konvensional begitu spektakuler.
Sekalipun pada masa
awal Islam masyarakat sudah terbisa bermuamalah dengan
dinar dan dirham, kemungkinan untuk menjadikan barang lain sebagai mata uang yang berfungsi sebagai medium of
exchange telah muncul dalam pikiran sahabat. Misalnya Umar bin
Khattab pernah mengatakan, “ Aku ingin (suatu saat) menjadikan
kulit unta sebagai alat tukar.” Pernyataan ini keluar dari bibir seorang yang amat paham tentang
hakikat uang dan fungsinya dalam ekonomi. Menurut Umar,
sesungguhnya uang sebagai alat tukar tidak harus terbatas pada dua logam mulia
saja seperti emas dan perak. Kedua logam mulia ini akan mengalami ketidakstabilan
manakala terjadi ketidakstabilan pada sisi permintaan maupun penawarannya.
Karena itu, apapun, sesungguhnya dapat berfungsi menjadi uang termasuk
kulit unta. Dalam pandangannya, ketika suatu barang berubah fungsinya menjadi
alat tukar (uang) maka fungsi moneternya akan meniadakan fungsinya atau paling
tidak akan mendominasi fungsinya sebagai komoditas biasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa
uang sebagai alat tukar
bahannya bias diambil dari apa saja yang disepakati oleh adat yang
berlaku (‘urf)
dan istilah yang dibuat
oleh manusia. Ia tidak harus terbatas dari emas dan perak. Misalnya, istilah dinar
dan dirham itu sendiri tidak memiliki batas alami atau syari’. Dinar dan dirham tidak diperlukan untuk dirinya sendiri
melainkan sebagai wasilah (medium of exchange)
Fungsi medium of exchange ini tidak
berhubungan dengan tujuan apapun, tidak
berhubungan dengan materi yang menyusunnya juga tidak berhubungan dengan gambar cetakannya, namun dengan fungsi
ini tujuan dari keperluan manusia dapat dipenuhi
(Lihat, Majmuatul
Fatawa). Pada umumnya para ulama dan ilmuwan
social Islam menyepakati fungsi uang sebagai
alat tukar saja. Deretan ulama ternama seperti Imam
Ghazali, Ibnu Taymiyyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ar-Raghib al-Ashbahani,
Ibnu Khaldun, al-Al-Maqrizi dan Ibnu Abidin dengan
jelas menandaskan fungsi
pokok uang sebagai alat tukar. Karena itu mata uang haruslah bersifat tetap, nilainya tidak naik dan turun.[5]
2.5 Uang
Kertas dalam Pandangan Islam
Uang kertas yang lazim
digunakan di zaman sekarang disebut fiat
money. Dinamakan demikian
karena kemampuan uang untuk berfungsi sebagai alat tukar dan memiliki daya beli tidak disebabkan
karena uang tersebut dilatarbelakangi oleh emas. Dulu
uang memang mengikuti standar emas (gold
standard). Namun rezim ini telah lama
ditinggalkan oleh perekonomian dunia pada pertengahan dasa warsa 1930-an (Inggris meninggalkannya pada tahun 1931
dan seluruh dunia telah meninggalkannya pada
tahun 1976). Kini uang kertas menjadi alat tukar karena pemerintah menetapkannya sebagai alat tukar.
Sekiranya pemerintah mencabut keputusannya dan menggunakan
uang dari jenis lain, niscaya uang kertas tidak akan memiliki bobot sama sekali.
Banyak kalangan yang
ragu-ragu atau bahkan tidak tahu hukum uang kertas ditinjau dari sisi syariah. Ada yang
berpendapat bahwa uang kertas tidak berlaku riba, sehingga
kalau orang berutang Rp. 100.000,00 kemudian mengembalikan kepada pengutang sebanyak Rp. 120.000,00 dalam
tempo tiga bulan, maka tidak termasuk riba.
Mereka beranggapan bahwa yang berlaku pada zaman Nabi SAW adalah uang emas dan perak dan yang diharamkan
tukar-menukar dengan kelebihan adalah emas dan
perak, karena itu uang kertas tidak berlaku hukum riba padanya.
Jawabannya sebenarnya dapat kita cari dari penjelasan yang telah lalu yaitu
bahwa mata uang bisa dibuat dari benda apa saja, sampai-sampai kulit unta, kata
Umar bin Khattab. Ketika benda tersebut telah ditetapkan sebagai mata uang yang
sah, maka barang tersebut telah berubah fungsi menjadi alat tukar dengan segala
fungsi turunannya. Jumhur ulama sepakat bahwa illat dalam
emas dan perak yang diharamkan pertukarannya
kecuali serupa dengan serupa, sama dengan sama, oleh Rasulullah SAW adalah karena “tsumuniyyah”, yaitu barang-barang tersebut
menjadi alat tukar, penyimpan
nilai di mana semua barang ditimbang dan dinilai dengan nilainya.
Oleh karena
itu, ketika uang kertas telah menjadi alat pembayaran yang sah, maka kedudukannya sama dengan
kedudukan emas dan perak yang pada waktu Al-Qur’am diturunkan di tengah menjadi
alat pembayaran yang sah.. Karena itu riba belaku pada uang
kertas. Uang kertas juga
diakui sebagai harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakat dari padanya. Zakatpun sah
dikeluarkan dalam bentuk uang kertas. Begitu pula ia dapat dipergunakan sebagai alat untuk membayar
mahar.[6]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Awalnya
manusia hidup mandiri dan memenuhi kebutuhan sendiri. Setelah peradaban kian
maju dan manusia semakin bertambah, kebutuhan tak lagi bisa dipenuhi sendiri.
Maka, lahirlah sistem barter. Namun, karena banyaknya kekurangan dari sistem
ini, muncul ide untuk membuat benda berupa uang. Seiring perjalanan sejarah,
terdapat tiga jenis uang. Uang barang, uang kertas, dan uang giral.
2.
Uang
muncul pada masa Arab sebelum Islam, lalu dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW
hingga masa Khulafaurrasyidin. Pada masa Dinasti Umayah, Abdul Malik bin Marwan
membuat mata uang Islam yang bernafaskan model Islam tersendiri. Pada masa
Dinasti Abbasiyah, Mamalik, mencetak uang tembaga (fulus) menjadi mata uang
utama dan menghentikan pencetakan dirham.
3.
Uang
adalah alat yang mempunyai nilai tukar suatu barang yang akan
di dapatkan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dan mempunyai
legalitas perundang-undangan yang diberlakukan oleh suatu instansi pemerintahan.
4.
Fungsi
utama uang adalah sebagai alat tukar (medium
of exchange). Dari fungsi utama ini diturunkan
fungsi-fungsi lain seperti
uang sebagai standard of value (pembakuan nilai), store of value
(penyimpan kekayaan), unit
of account (satuan
penghitungan), dan standard of deferred payment (pembakuan pembayaran tangguh).
5.
Islam
memandang uang kertas sebagai alat pembayaran yang sah, karena mata uang bisa
dibuat dari benda apa saja, sampai-sampai kulit unta, kata Umar bin Khattab.
Ketika benda tersebut telah ditetapkan sebagai mata uang yang sah, maka barang
tersebut telah berubah fungsi menjadi alat tukar dengan segala fungsi
turunannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Hasan, 2005. Mata
Uang
Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Nadratuzzaman
Hosen dkk, 2007. Menjawab
Keraguan
Umat
Islam
terhadap Bank
Syariah. Jakarta : Pkes Publishing.
Nurul Huda, et al.,
2008. Ekonomi Makro Islam Pendekatan
Teoritis. Jakarta: Kencana.
Mustafa E. Nasution, et
al., 2006. Pengenalan Eksklusif
Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.
[1]
Mustafa E. Nasution, et al., Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006) h. 239-242
[4] Nadratuzzaman
Hosen dkk, Menjawab Keraguan Umat Islam terhadap Bank Syariah (Jakarta
: Pkes Publishing
: 2007)
[5] Nurul Huda, et al., Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, (Jakarta:
Kencana, 2008) h.78-80