BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam kehidupan ini, kita sering menilai sesuatu itu mustahil karena akal
manusia yang terbatas dan terpaku dengan hukum-hukum alam atau hukum sebab
akibat yang telah kita ketahui. Sehingga kita sering menolak sesuatu yang tidak
sejalan dengan logika atau hukum yang berlaku.
Manusia dengan
akal yang dimilikinya tidak mampu merenungkan ciptaan Allah di muka bumi dan di
alam semesta. Mereka tidak mencoba untuk menyempatkan diri mentadabburi
kebesaran Tuhan yang terlukis pada alam semesta. Sehingga Allah mengutus setiap
rasul pada kaumnya. Kemudian bersamaan dengan itu Allah bekali setiap rasul
dengan mukjizat sebagai tandingan terhadap kemampuan diluar kebiasaan yang
berkembang ditengah-tengah kaumnya.
Kemampuan luar
biasa atau yang lebih sering dikenal sebagai mukjizat yang dimiliki oleh setiap
rasul untuk menandingi dan mengalahkan kemampuan luar biasa yang ada di kaum
mereka sehingga dengan adanya itu mereka tidak sanggup melawan dan muncullah
perasaan lemah dalam diri mereka yang pada akhirnya membawa mereka pada
keimanan dengan risalah yang dibawa oleh rasul.
Pembicaraan tentang kemukjizatan Al-Quran merupakan suatu mukjizat
tersendiri, dimana para peneliti tidak bisa mencapai kesempurnaan dari setiap
sisi-sisi kemukjizatannya.
Dan berbagai
pertanyaan lainnya seputar kemukjizatan Al-Quran akan penulis coba paparkan
jawabannya dalam makalah sederhana ini. Semoga ke depan makalah ini dapat
memberi pencerahan bagi kita semua.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apakah
pengertian dari mukjizat?
2.
Apa
saja unsur-unsur mukjizat?
3.
Apa
saja macam-macam mukjizat?
4.
Apa
saja segi-segi kemukjizatan Al-Quran?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian mukjizat
2. Untuk mengetahui unsur-unsur dari mukjizat
3. Untuk mengetahui macam-macam mukjizat
4. Untuk mengetahui segi-segi kemukjizatan Al-Quran
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mukjizat
Kata “mukjizat”
diambil dari akar kata “a’jaza-yu’jizu-ajzan
wa u’juzan wa ma’jizan wa ma’jizatan/ma’jazatan yang secara harfiah antara
lain berarti lemah, tidak mampu, tidak berdaya, tidak sanggup, tidak dapat
(tidak bisa), dan tidak kuasa. Al-‘ajzau adalah
lawan kata dari kata al-qudrah yang
berarti sanggup, mampu, atau kuasa. Jadi al’ajzu
berarti tidak mampu alias tidak berdaya.[1]
Seperti pada firman Allah:
“Kemudian Allah
menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat
saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku
dapat menguburkan mayat saudaraku ini?Karena
itu jadilah seorang diantara orang-orang yang menyesal”
(QS. Al-Maidah:31)
Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukjiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak umat menonjol
sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai “mukjizat”. Tambahan ta’
marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubhalaghah (superlatif).
Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama Islam antara
lain, sebagai “suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui
seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada
yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi mereka tidak
mampu melayani tantangan itu”. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan
pula sebagai “sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para
nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan
kerasulannya.”
Manna Al-Qaththan mendefinisikannya sebagai, “suatu
kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak
dapat ditandingi.[2]
Mukjizat Al-Quran merupakan sebuah
keunggulan, kekuatan, keistimewaan Al-Quran yang menetapkan kelemahan manusia,
baik secara berpisah-pisah maupun berkelompok-kelompok, untuk mendatangkan
sesuatu hal yang serupa atau yang menyamainya. Dan ini bukan berarti melemahkan
manusia dengan pengertian melemahkan yang sebenarnya. Artinya ia memberi
pengertian kepada mereka tentang kelemahan mereka untuk mendatangkan sesuatu
yang sejenis dengan Al-Quran,
menjelaskan bahwa Al-Quran
ini haq dan Rasul yang membawanya adalah Rasul yang benar.[3]
2.2
Unsur-Unsur
Mukjizat
Unsur-unsur yang terdapat pada mukjizat, sebagimana
dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah:
1.
Hal atau peristiwa
yang luar biasa
Peristiwa-peristiwa alam, misalnya yang terlihat
sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak dinamai mukjizat, karena merupakan
sesuatu yang biasa. Ynag dimaksudkan dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang
berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara
umum.
2.
Terjadi atau
dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi
Tidak mustahil terjadi hal-hal diluar kebiasaan pada diri
siapapun. Namun, apabila bukan dari seorang yang mengaku nabi, tidak dinamai
mukjizat. Sesuatu yang luar biasa tampak pada diri seseorang yang kelak bakal
menjadi nabi pun tidak dinamai mukjizat, tetapi karamah atau kekeramatan, yang
bahkan tidak mustahil terjadi pada seseorang yang durhakan kepada-Nya.
Kekeramatan yang terkahir dinamai ihanah (penghinaan)
atau istidraj (“rangsangan” untuk
lebih durhaka lagi).
Bertitik tolak dari keyakinan Nabi Muhammad SAW adalah
nabi terakhir, maka tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggalnya.
3.
Mengandung
tantangan terhadap yang meragukan kenabian
Tentu saja, tantangan ini harus dibarengi dengan
pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelum atau sesudahnya. Di sisi lain,
tantangan tersebut haru pula merupakan suatu yang sejalan dengan ucapan sang
nabi. Kalau misalnya ia berkata, “Batu ini dapat bicara,” tetapi ketika batu
itu berbicara, dikatakannya bahwa “Sang penantang berbohong” maka keluarbiasaan
ini bukanlah mukjizat, tetapi ihanah
atau istidraj.
4.
Tantangan tersebut
tidak mampu atau gagal dilayani
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini
berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi
bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang.
Bahkan untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek kemukjizatan
tiap-tiap nabi berupa hal-hal yang sesuai dengan bidang keahlian umatnya.
Al-Quran digunakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menantang
orang-orang pada masanya dan generasi sesudahnya yang tidak percaya terhadap
kebenaran Al-Quran sebagai firman Allah (bukan ciptaan Muhammad) dan risalah
serta ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka, sungguh pun memiliki tingkat
falsafah dan balaghah sedemikian tinggi dibidang bahasa Arab, Nabi memintanya
untuk menandingi Al-Quran dalam tiga tahapan:
1.
Mendatangkan
semisal Al-Quran secara keseluruhan, sebagiaman dijelaskan pada surat Al-Isra’
ayat 88:
“Katakanlah,
sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran
ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Isra':88)
2.
Mendatangkan
sepuluh surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Quran, sebagaimana
dijelaskan surat Hud ayat 13:
“Bahkan
mereka mengatakan, ‘Muhammad telah membuat-buat Al-Quran itu”, Katakanlah,
‘(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain
Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (QS. Hud:13)
3.
Mendatangkan
satu surat saja yang menyamainya surat-surat yang ada dalam Al-Quran, sebagaimana
dijelaskan oleh surat Al-Baqarah ayat 23:
“Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Quran itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)[4]
2.3
Macam-Macam
Mukjizat
Secara garis besar, mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu
mukjizat yang bersifat material indrawi yang tidak kekal dan mukjizat
imaterial, logis yang dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi
terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan
indrawi dalam artian keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau
langsung melalui indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan
risalahnya. Berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sifatnya bukan
indrawi atau material, tetapi dapat dipahami akal. Karena sifatnya yang
demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat
Al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya dimana pun
dan kapan pun.
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok:
1.
Para
nabi sebelum Nabi Muhammad SAW ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu.
Oleh karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat
tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi Muhammad yang
diutus untuk seluruh umat manusia sampai akhir zaman, sehingga bukti kebenaran
ajarannya selalu ada, dimana dan kapan pun berada. Jika demikan halnya, tentu
mukjizat tersebut tidak mungkin bersifat material, karena kematerialan
membatasi ruang dan waktunya.
2.
Manusia
mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para Nabi –khususnya sebelum
Nabi Muhammad- membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran
mereka. Bukti tersebut harus demikian jelas dan langsung terjangkau oleh indra
mereka. Akan tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan
berpikir, bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Itulah sebabnya,
Nabi Muhammad ketika diminta bukti-bukti yang sifatnya demikian oleh mereka
yang tidak percaya, beliau diperintahkan oleh Allah untuk menjawab:
“Atau kamu mempunyai
sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak
akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab
yang kami baca. Katakanlah, ‘Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya
seorang manusia yang menjadi rasul?” (QS. Al-Isra’:93)
2.4
Segi-Segi Kemukjizatan Al-Quran
1.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa Al-Qur’an banyak membuat orang Arab saat itu kagum dan
terpesona. Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak manusia masuk Islam.
Bahkan, Umar bin Khaththab pun yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling
memusuhi Nabi Muhammad SAW dan bahkan berusaha untuk membunuhya, ternyata masuk
Islam dan beriman kepada kerasulan Muhammad hanya karena mendengar petikan
ayat-ayat Al-Quran.[5]
2.
Hukum
Ilahi yang Sempurna
Al-Qur’an
menjelaskan pokok-pokok kaidah, norma-norma keutamaan, sopan santun,
undang-undang ekonomi politik, sosial dan kemasyarakatan, serta hukum-hukum
ibadah. Kalau pokok-pokok ibadah wajib diperhatikan, akan diperoleh kenyataan
bahwa islam telah memperluasnya dan menganekaragamannya serta meramunya menjadi
ibadah maliyah, seperti zakat dan sedekah. Ada juga yang berupa ibadah amaliyah
sekaligus ibadah badaniyah seperti berjuang dijalan Allah.
Tentang
akidah, Al-Qur’an mengajak umat manusia pada akidah yang suci dan tinggi, yakni
beriman kepada Allah Yang Maha Agung; menyatakan adanya nabi dan rasul serta
mempercayai semua kitab samawi.
Dalam
bidang undang-undang, Al-qur’an telah menetapkan kaidah-kaidah mengenai
perdata, pidana politik, dan ekonomi. Mengenai hubungan internasional,
Al-Qur’an telah menetapkan dasar-dasarnya yang paling sempurna dan adil, baik
dalam keadaan damai ataupun perang.
Al-Qur’an
menggunakan beberapa cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hukum:
a)
Secara global
Persoalan
ibadah umumnya diterangkan secara global, sedangkan perincinya diserahkan kepada
para ulama melalui ijtihad.
b)
Secara terperinci
Hukum
yang dijelaskan secara terperinci adalah yang berkaitan dengan utang-piutang,
makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita dan masalah
perkawinan.
3.
Ketelitian
Redaksinya
a.
Keseimbangan
antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberpa contoh diantaranya;
1) “al-hayah” (hidup) dan “al-maut”
(mati), masing-masing sebanyak 145 kali;
2) “An-naf” manfaat) dan “al-mudharah”
(mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali.
3) “al-har” (panas) dan “al-bard”
(dingin), masing-masing 4 kali.
4) “ash-Shalihat” (kebijakan) dan “ash-sayyi’at”
(keburukan) masing-masing 167 kali.
5) “ath-Thuma’ninah” (kelapangan/keterangan) dan “al-dhia” (kesempitan/kekesalan) masing-masing 13 kali.
6) “Ar-Rahbah” (cemas/takut) dan “ar-raghbah” (harap/ingin), masing-masing 8 kali.
7) “Al-Kufr” (kekufuran) dan “al-iman”
(iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali.
8) “Ash-Shayf” (musim panas) dan “ash-syita” (musim dingin), masing-masing 1 kali.
b.
Keseimbangan
jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
1) “Al-harts” dan “az-ziraah”
(membajak/bertani), masing-masing 14 kali.
2) “Al-ushb” dan “adh-dhuru"
(mefambanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali.
3) “Adh-dhalum” dan “al-mauta”
(orang sesat/mati[jiwanya]), masing-masing 17 kali
4) “Al-Qur’an”,
“al-wahyu” dan “al-islam” (Al-Qur’an, wahyu dan islam),
masing-masing 70 kali.
5) “Al-aql” dan “an-nur”
(akal dan cahaya), masing-masing 49 kali.
6) “Al-jahr” dan “al-alaniyah”
(nyata), masing-masing 16 kali.
c.
Keseimbangan
antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan pada akibatnya.
1) “Al-infaq”(infaq) dengan “ar-ridho”
(kerelaan), masing-masing 73 kali.
2) “Al-bukhl” (kekikiran) dengan “al-hasarah” (penyesalan), masing-masing 12 kali.
3) “Al-kafirun”(orang-orang kafir) dengan “an-nar” “al-ahraq” (neraka/pembakaran), masing-masing 154 kali.
4) “Az-zakah” (zakat/penyucian) “al-barakat” (kebajikan yang banyak, masing-masing 32 kali.
5) “Al-fahisyah”(kekejian) dengan “al-ghadhb” (murka), masing-masing 26 kali.
d.
Keseimbangan
antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.
1) “Al-israf” (pemborosan) dengan “as-syur’ah” (ketergesahan) masing-masing 23 kali.
2) “Al-maq’izah” (nasihat/petuah) dengan “al-ihsan” (lidah), masing-masing 25 kali.
3) “Al-asra” (tawanan) dengan “al-harb” (perang), masing-masing 6 kali.
4) “As-salam” (kedamaian) dengan “at-hayyibat” (kebijakan), masing-masing 60 kali.
e.
Disamping
keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.
1) Kata “Yawm” (hari) dalam bentuk tunggal
sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun, sedangkan kata hari yang
menunjuk pada bentuk plural (“ayyam”)
atau dua (“yaumayni”), jumlah
keseluruhan hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi
lain kata yang berarti “bulan” (“syahr”) hanya
terdapat 12 kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
2) Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit ada “tujuh”.
Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam surat
Al-Baqarah [2] ayat 29, surat Al-Iara’ [17] ayat 44, Al-mu’minun [23] ayat 86,
surat Fushshilat [41] ayat 12, syrat Al-Thalaq [65] ayat 12, surat Mulk [67]
ayat 3, dan surat Nuh [71] ayat 15. Selain itu penjelasan tentang terciptanya
langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik
rasul atau nabi atau “basyir”
(pembawa berita gembira) atau “nadzir”
(pemberi peringatan), kesemuanya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan
jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul, dan pembawa berita, yakni 518 kali.
5. Berita tentang Hal-hal Gaib
Sebagaimana
ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat
Al-Qur’an itu adalah berita-berita gaibin Firaun, yang mengejar-ngejar nabi
Musa, diceritakan dalam surat Yunus : 92:
“Maka pada hari
ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapatmenjadi pelajaran bagi orang-orang
yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari
tanda-tanda kekuasaan kami.”
(Q.S. Yunus : 92)
Pada
ayat itu ditegaskan bahwa biadab Firaun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk
menjadi pelajaran generasi bagi berikutnya. Tidak seorangpun mengetahui hal
tersebut, karena telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. pada awal abad ke -19,
teptnya pada tahun 1898, ahli purbakala Loret menemukan di lembah raja-raja Luxor
Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah firaun
yang bernama Munitfah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. selain itu, pada
tanggal 8 juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk
membuka pembalut-pembalut Firaun tersebut. Apa yang ditemukan adalah salah satu
jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Qur’an melalui nabi yang ummy
(tidak pandai membaca dan menulis).
Berita-berita
gaib yang terdapat pada wahyu Allah, yakni Taurat, Injil dan Al-Qur’an,
merupakan mukjizat. Berita gaib dalam wahyu Allah itu membuat manusia takjub
karena akal manusia tidak sampai pada hal-hal tersebut. Salah satu mukjizat
Al-Qur’an adalah bahwa didalamnya banyak sekali terdapat ungkapan dan
keterangan yang rahasianya baru terungkap oleh ilmu pengetahuan dan sejarah
pada akhir abad ini, makna yang terkandung di dalam nya sama sekali tidak
terbayangkan oleh pikiran orang yang hidup pada masa Al-Qur’an diturunkan.
Cerita
peperangan Romawi dengan Persia yang dijelaskan dalam surat Al-Rum ayat 1-5
merupakan salah satu berita gaib lainnya yang disampaikan al-Qur’an:
“Alif Lam
Miim. Telah dikalahkan bangsa romawi, di negeri yang terdekat dan mereka
sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah
urursan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa
Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah.
Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ar-Rum:1-5)
Pada
abad ke lima dan ke enam masehi, trdapat dua adikuasa, Romawi yang beagama
Kristen dan Persia yang menyembah api. Persingan antara keduanya dalam merebut
wilayah dan pengaruh amat keras. Sejarawan menginformasikan bahwa pada tahun
615 M terjadi peperangan antara kedua adikuasa itu yang berakhir dengan
kekalahan Romawi. Ketika itu, kaum musyrikin di Mekah mengejek kaum muslim yang
cenderung mengharapkan kemenangan Romawi yang beragama ssamawi itu atass Persia
yang menyembah api. Kekesalan mereka akibat kekalahan tersebut bertambah dengan
ejekaan ini maka turunlah ayat diatas pada tahun kekalahan itu, menghibur kaum
muslimin dengan dua hal:
Pertama,
Romawi akan menang atas Persia pada teggang waktu yang diistilahkan Al-Qur’an
dengan “bidh’ sinin” dan yang diterjemahkan dengan beberapa tahun.
Kedua,
saat kemenangan tiba, kaum muslim akan gembira, bukan saja dengan kemenangan
Romawi, tetapi juga dengan kemenangan yang di anugerahkan Allah.
Ternyata,
pemberitahuan itu benar. Karena sejarah menginfomasikan bahwa tujuh tahun
setelah kekalahan Romawi tepatnya pada tahun 622 M terjadi lagi peperangan
antara kedua adikuasa tersebut, dan kali ini pemenangnya adalah Romawi.
6. Isyarat-Isyarat Ilmiah
Banyak
sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Qur’an. Misalnya:
a.
Cahaya matahari
bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Sebagaimana yang
dijelaskan firman Allah:
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah(tempat-tempat) bagi perjalanan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu, melainkan dengan hak. Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Yunus : 5)
b.
Kurangnya oksigen
pada ketinggian dapat menyesakkan napas.
Hal itu diisyaratkan oleh firman Allah:
“Barang
siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia
melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) islam. Dan barang siapa yang
dikehendaki Allah kesesatanya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah melimpahkan
siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
(Q.S. Al-An’am : 125).
c. Perbedaan sidik jari manusia, sebagaimana
diisyaratkan oleh firman Allah:
“Bukan
demikian, sebenarnya kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (Q.S. al-Qiyamah : 4)
d. Aroma/bau manusia berbeda-beda, sebagaimana
diisyaratkan firman Allah:
“Tatkala kafilah itu telah keluar(dari negeri
Mesir) berkata ayah mereka,’sesungguhnya aku mencium bau yusuf, sekiranya kamu
tidah menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku).” (Q.S. Yusuf :
94)
e. Masa penyusunan ideal dan kehamilan minimal,
sebagaimana diisyaratkan firman Allah:
“Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah : 233).
f. Adanya nurani (superego) dan bawah sadar manusia,
sebagaimana diisyaratkan firman Allah:
“Bahkan
manusia itu menjadi saksi atas dirianya sendiri, meskipun dia menggemukkan alas
an-alasannya.” (Q.S Al-Qiyamah : 14-15).
g. Yang merasakan nyeri adalah kulit:
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka
kealam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan
kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (QS.An-Nisa’: 56)[6]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pengertian
mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para
nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan
kerasulannya.
2. Unsur-unsur
mukjizat diantaranya, peristiwa yang luar biasa, terjadi atau dipaparkan oleh
seorang yang mengaku nabi, mengandung tantangan terhadap yang meragukan
kenabian, tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani.
3. Tahapan tantangan kepada orang-orang yang tidak percaya
terhadap kebenaran
Al-Quran sebagai firman Allah., diantaranya: Mendatangkan semisal Al-Quran
secara keseluruhan, mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat yang
ada dalam Al-Quran, mendatangkan satu surat saja yang menyamainya surat-surat
yang ada dalam Al-Quran.
4. Macam-macam mukjizat ada dua bagian pokok, mukjizat yang
bersifat material inderawi dan mukjizat imaterial.
5. Segi kemukjizatan Al-Qur’an diantaranya dari segi gaya
bahasa, hukum ilahi yang sempurna, ketelitian redaksinya, berita tentang
hal-hal gaib, isyarat-isyarat ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
.
Muhammad
Ali Ash Shabuni. 1987. Pengantar Studi Al-Quran, terjemah H. Muhammad
Khudhori Umar dan Muh. Matsna HS, Bandung; Al Ma’arif.
Rosihon
Anwar, 2012. Ulum Al-Quran, Bandung:
Pustaka Setia.
[1] Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), hal.154.
[3] Muhammad Ali Ash Shabuni. Pengantar Studi Al-Quran, terjemah H. Muhammad Khudhori Umar dan Muh. Matsna
HS (Bandung; Al Ma’arif, 1987), hal.
102-103.
[4] Rosihon Anwar, op, cit., hal.
185-187
[5] Rosihon Anwar, op,cit., hal.
185-187