BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sanad
dan matan merupakan dua unsur pokok hadits yang harus ada pada setiap hadist, antara keduanya memiliki
kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisakan. Suatu berita tentang
rasulullah SAW (matan) tanpa ditemukan rangkaian atau susunan sanadnya, yang
demikian tidak dapat disebutkan hadits, sebaliknya suatu susunan sanad,
meskipun bersambung sampai rasul, jika tidak ada berita yang dibawanya, juga
tidak bisa disebut hadist.
Pembicaran
dua istilah diatas, sebagai dua unsur pokok hadist, matan dan sanad diperlukan
setelah rasul wafat. Hal ini karna berkaitan dengan perlunya penelitian terhadap
otentisitas isi berita itu sendiri apakah benar sumbernya dari rasul atau
bukan.Upaya ini akan menentukan bagaimana kualitas hadits tersebut, yang akan
dijadikan dasar dalam penetapan syari’at islam.
Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia bagi orang-orang yang
bertaqwa sifatnya mujmal(global) atau masih ‘am(umum), maka untuk menerapkannya
secara praktis sangatlah membutuhkan penjelasan-penjelasan yang lebih jelas
terutama dari nabi Muhammad SAW yang menerima wahyu. penjelasan-penjelasan dari
nabi tersebut bisa berupa ucapan atau perbuatan maupun pernyataan atau
pengakuan, yang dalam tradisi keilmuan islam disebut hadits. Dengan demikian,
hadits nabi merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an.
Dari sisi periwayatannya hadits memang berbeda dengan Al-Qur’an.
Semua periwayatan ayat-ayat Al-Qur’an dipastikan berlangsung secara mutawatir,
sedang hadits ada yang mutawatir dan ada juga yang ahad. Oleh karena itu,
Al-Quran bila dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan sebagai
qot’i al-wurud, sedang hadits nabi dalam hal ini yang berkategori ahad,
berkedudukan sebagai dzoni al-wurud.
Untuk mengetahui otentisitas dan orisinalitas hadits semacam ini
diperlukan penelitian matan maupun sanad. Dari sini dapat dilihat bahwa selain
rawi , matan dan sanad merupakan tiga unsur terpenting dalam hadits nabi.
Untuk itu dalam pembahasan makalah ini kami akan menyajikan bahan
diskusi yang berjudul: Sanad, Matan dan Rawi Hadits.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apakah
pengertian dari sanad, matan dan rawi hadits?
2. Bagaimanakah kriteria dan
syarat-syarat hadits?.
3.
Seperti
apakah kedudukan hadits dalam Islam?
4.
Bagaimanakah
hubungannya dengan dokumentasi dan contohnya?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari sanad, matan
dan rawi hadits
2.
Untuk
mengetahui kriteria dan syarat-syarat hadits
3. Untuk mengetahui kedudukan hadits dalam Islam
4. Untuk mengetahui hubungannya dengan dokumentasi dan
contohnya
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Sanad, Matan dan Rawi Hadits
1.
Sanad
Kata “Sanad” menurut bahasa adalah
“sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena
hadits bersandar kepadanya. Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan
pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al-Thiby mengatakan sanad adalah, “Berita tentang jalan matan”
Yang lain menyebutkan:
“Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan
hadits), yang menyampaikan kepada matan hadits”.
Ada juga yang menyebutkan:
“Silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbrnya yang pertama”.
Yang berkaitan dengan istilah sanad,
terdapat kata-kata seperti, al-isnad, al-musnid, dan al-musnad.
Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana
yang dikembangkan oleh para ulama.
Kata al-isnad berarti menyandarkan,
mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksudkan disini,
ialah menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya (raf’u hadits ila qa ilih atau
azwu hadits ila qa ‘ilih). Menurut Al-Thiby, sebenarnya kata al-isnad
dan al-sanad digunakan oleh para ahli hadits dengan pengertian yang sama.
Kata al-musnad mempunyai beberapa arti.
Bisa berarti hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang; bisa berarti
nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem penyusunan berdasarkan
nama-nama para sahabat para perawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad; bisa juga
berarti nama bagi hadits yang marfu’ dan muttashil.[1]
a.
Jenis-Jenis Sanad Hadits
1)
Sanad `Aliy'
Sanad yang jumlah rawinya
lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad lain. Hadits dengan sanad
yang jumlah
rawinya sedikit akan tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rawinya
lebih banyak. Sanad Aliy ini dibagi menjadi dua bagian,
yaitu sanad yang mutlak dan sanad yang nisbi (relatif).
a)
Sanad 'aliy yang
bersifat mutlak : sanad yang jumlah rawinya hingga sampai kepada
Rasulullah lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad yang
lain. Jika sanad tersebut sahih, sanad
itu menempati tingkatan tertinggi dari jenis sanad aliy.
b)
Sanad 'aliy yang
bersifat nisbi : sanad yang jumlah rawi di dalamnya
lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadits, seperti Syu'bah,
Al-A'masy, Ibnu Juraij, AtsTsauri, Malik, Asy-Syafi'i, Bukhari, Muslim, dan sebagainya, meskipun
jumlah rawinya setelah mereka hingga
sampai kepada Rasulullah lebih banyak.
Para ulama hadits memberikan perhatian serius terhadap sanad aliy
sehingga mereka membukukan sebagian di antaranya dan
menamakannya dengan ats-tsultsiyyat. Yakni hadits-hadits yang jumlah rawi dalam sanadnya antara rawi yang
menulisnya dengan Rasulullah berjumlah tiga orang rawi.
2)
Sanad Nazil
Sanad nazil adalah sebuah sanad jumlah rawinya
lebih banyak jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Hadits dengan sanad
yang lebih banyak akan tertolak dengan sanad yang sama jika
jumlah rawinya
lebih sedikit.[2]
2.
Matan
Kata “matan” atau “al-matan” menurut bahasa
berarti ma irtafa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi). Sedang menurut
istilah adalah:
“Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”.
Atau dengan redaksi lain; ialah:
“Lafaz-lafaz hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu”.
Ada juga redaksi yang lebih simpel lagi,, yang
menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad).
Dari semua pengertian di atas, menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan matan,
ialah materi atau lafaz hadits itu sendiri.[3]
a.
Macam-macam Matan
1)
Al-Qur'an
Al-Qur'an
adalah kalam Allah yang diturunkan secara bertahap melalui
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. dengan periwayatan yang mutawatir, terdapat dalam mushaf dan dimulai dari surat
al-Fatihah dan berakhir pada surat an-Nas.
2)
Hadits Qudsi
Hadits qudsi
adalah kalam yang maknanya dari Allah dan lafadnya dari Nabi Saw.
Dalam istilah
ini, terdapat dua sisi lafaz 'hadits' dan qudsi. Lafaz
hadits kembali kepada Nabi dan lafaz, qudsi kembali kepada Allah.
3)
Hadits Nabawi
Sebagaimana
telah disinggung di awal pembahasan bahwa hadits adalah
segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. baik berupa
ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat psikis dan fisik. Dalam pembahasan ini, yang dilihat sebatas siapa menuturkan teks tersebut, dan tidak melihat bagaimana
kualitas lafadnya. Hadits ditinjau dari aspek penuturnya dapat
dibedakan menjadi tiga bagian: marfu’, mauquf, dan maqthu'.
a.
Marfu'
Definisi marfu' adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi saw berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat, baik sanadnya bersambung maupun tidak. Sedangkan, yang menisbatkan kepada Nabi bisa sahabat atau juga kita. Selama ada ungkapan “Nabi
bersabda” atau “Nabi melakukan ini dan itu” maka dapat dinamakan
dengan marfu'.
b.
Mauquf
Definisi
hadits mauquf adalah ucapan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada sahabat. Jika terdapat sebuah teks dan penuturnya
seorang sahabat maka diistilahkan dengan mauquf, bersambung sanad-nya maupun tidak. Jika bersambung
maka dinamakan mauquf muttashil, dan jika
tidak maka dinamakan mauquf munqathi.
c.
Maqthu'
Definisi hadits
maqthu' adalah ucapan atau perbuatan yang
dinisbatkan kepada tabi’in. Jika terdapat sebuah teks dan penuturnya seorang tabi’in maka diistilahkan dengan
maqthu’ baik bersambung sanadnya maupun tidak.[4]
3.
Rawi
Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yang
meriwayatkan atau memberitakan hadits (naqil al-hadits).
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu
merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya, juga disebut rawi,
jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi yang membedakan antara rawi
dengan sanad, adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits. Orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin,
disebut dengan perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin
(orang yang membukukan dan menghimpun hadits).
Untuk lebih jelas dapat membedakan antara sanad,
rawi, dan matan, sebagaimana yang diuraikan di atas, ada baiknya melihat
contoh hadits dibawah ini.
“Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin
Ma’murbin Rabi’i al-Qaisi, katanya: Telah menceritakan kepadaku Abu Hisyam
al-Mahzumi dari Abu al-Wahis, yaitu ibn Ziyad, katanya: Telah menceritakan
kepadaku Muhammad bin al-Munkadir, dari ‘Amran, dari Usman bin Affan ra., ia
berkata: Barangsiapa yang berwudhu’ dengan sempurna (sebaik-baiknya wudhu’),
keluarlah dosa-dosanya dari seluruh badannya, bahkan dari bawah kukunya”.
(HR.Muslim)
Dari nama Muhammad bin Ma’mur bin Rabi’i
Al-Qaisi sampai dengan Usman bin Affan ra. Adalah sanad dari hadits tersebut. Mulai kata man tawaddha’a
sampai dengan kata tahta azhfarih, adalah matannya. Sedang Imam
Muslim yang dicatat di ujung hadits adalah perawinya, yang juga disebut mudawwin.[5]
2.2
Macam-Macam Hadits dan Kriterianya
Untuk menjamin bahwa sebuah hadits adalah benar berasal
dari Nabi, muhaditsun kemudian mengembangkan disiplin ilmu yang disebut ulum
al hadits. Dari disiplin ilmu ini, kemudian diperoleh status apakah sebuah hadits
dapat diterima (maqbul) ataupun ditolak (mardud).
Sebuah hadits yang dinyatakan maqbul dapat dijadikan
hujjah, yakni pedoman dan panduan pengalaman syari’at, dapat
dijadikan alat istinbath dan bayan terhadap al Qur’an, sedangkan hadits mardud merupakan hadits yang ditolak sehingga
tidak dapat dijadikan hujjah.[6]
Ditinjau
dari segi maqbul dan mardud diatas, hadits dapat dibagi menjadi hadits
shahih, hadits
hasan, dan hadits dhaif.[7]
1. Hadits Shahih
Hadits yang musnad, yakni muttashil-nya sanad,
yang dinukil oleh rawi-rawi yang ‘adil, dlabith,
sehingga sampai kepada Rasulullah atau orang yang bertemu Rasulullah (sahabat
atau bukan sahabat), serta tidak ber-‘illat dan tidak janggal.[8]
Dari
pengertian di atas, maka suatu hadits
dinilai shahih apabila memenuhi syarat:
a.
Rawi-nya bersifat ‘adil, yakni rawi sebuah hadits harus selalu bertindak taqwa,
menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasan melakukan dosa-dosa kecil dan
meninggalkan mubah yang dapat menodai muru’ah.
b.
Rawi-nya dlabith, yakni orang yang terpelihara, kuat
ingatannya, dan ingatnya lebih banyak daripada kesalahannya. Dlabith ini
sendiri terbagi menjadi dua. Pertama, Dlabith al Shadri, yakni seorang
mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya faham yang tinggi, sejak
dari menerima sampai kepada menyampaikan pada orang lain. Dan
ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki. Kedua,
Dlabith al Kitab, yakni seseorang yang dlabith atau cermat
memelihara catatan atau buku yang ia terima.
c.
Musnad, yakni muttashil-nya sanad
dan marfu’-nya matan. Yang dimaksud dengan muttashil
atau bersambung atau tidak putusnya sanad, yakni selamat dari keguguran
pada tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru
yang memberinya (mengajarinya). Matan yang marfu’, artinya
disandarkan kepada Nabi SAW.
d.
Tanpa ‘illat. ‘illat hadits yaitu suatu penyakit
yang samar-samar yang dapat menodai ke-shahih-an hadits, misalnya; meriwayatkan hadits secara muttashil terhadap hadits mursal atau hadits munqathi’, atau berupa
sisipan yang terdapat pada matan hadits.
e.
Tidak ada kejanggalan.
Kejanggalan hadits terletak
pada adanya perlawanan antara suatu hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan dengan adanya
kelebihan jumlah sanad dalam ke-dlabith-an atau adanya segi-segi tarjih
yang lain.[9]
2. Hadits
Hasan
Hadits
Hasan adalah hadits yang
dinukil oleh rawi yang kurang sempurna ke-dlabith-annya, tetapi
selamat dari ‘illat dan kejanggalan.[10]
Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya
hanya dalam soal ke-dlabith-an rawi. Hadits shahih rawi-nya sempurna dlabith-nya (tam
dlabith), sedangkan hadits
hasan rawi-nya kurang sempurna dlabith-nya (qalil
dlabith).
3. Hadits Dlaif
Hadits yang
tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits
shahih atau sifat-sifat hadits
hasan. Pengertian yang lain menyebutkan bahwa hadits dlaif adalah hadits yang kehilangan satu
syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits
shahih atau hadits hasan.
Hadits dlaif ini bermacam-macam, dan ke-dlaif-an
juga bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi-nya,
sanad, atau matan-nya.
Dari
segi rawi, sebuah hadits
dlaif terdapat didalamnya kecacatan para rawi, baik mengenai
ke-‘adil-an maupun mengenai ke-dlabith-annya. Misalnya dia
pendusta, tertuduh dusta, fasiq, lengah dalam hafalan, atau menyalahi
riwayat orang kepercayaan.[11]
Dari segi sanad, sebuah hadits dikatakan dlaif bila sanad-nya tidak
bersambung (tidak muttashil), rawi murid tidak bertemu dengan rawi
guru, sehingga terjadi inqitha’ (gugur rawi) pada sanad.
Dari
segi matan, sebuah hadits
dikatakan dlaif bila bertentangan dengan petunjuk al Qur’an,
bertentangan dengan hadits yang
kualitasnya lebih kuat, bertentangan dengan akal sehat, serta susunannya tidak
mencerminkan sabda Nabi.[12]
2.3 Kedudukan dan Fungsi Hadits dalam Islam
Hadits
menjadi asas perundang-undangan setelah
Al-Qur’an. Adapun kedudukan dan fungsi hadits dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Berfungsi
menetapkan dan memperkuat hukum-hukum
yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya sama-sama
menjadi sumber hukum.
Misalnya Allah SWT dalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam
firman-Nya:
واجتنبواقول
الزور(الج:30)
Artinya:
“Dan jauhilah perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30)
Kemudian
Nabi
SAW dengan haditsnya menguatkannya dengan sabdanya:
الا انبكم باكبرالكبائر؟قلنا: بلى
يارسول الله!قال: الاشراك بالله, وعقوق الوالدين,
(وكان
متكافجلس فقا ل:)الا, وقول الزور! الحد يث.(متفق عليه).
Artinya:
“Perhatian! Aku akan memberitahukan kepada kalian perihal dosa-dosa besar.”
Sahut kami:”Baiklah, wahai Rasulullah”. Beliau meneruskan sabdanya: “Musyrik
kepada Allah, Menyakiti kedua orang tua”. Saat itu Rasulullah sedang bersandar,
tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: “Awas! Berkata bohong (bersaksi palsu)”
dan seterusnya. (HR. Bukhari Muslim).
Dalam
suraut al-Hajj: 30
diatas Allah melarang berkata bohong (bersaksi palsu) dan hadits yang
diriwayatkan Bukhari Muslim juga
melarang berkata bohong (bersaksi palsu). Dalam masalah ini baik Al-Qur’an
maupun Hadits sama-sama menjadi sumber hukum
larangan bersaksi palsu.
2. Memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
masih mujmal (umum), memeberikan taqyid (persyaratan) terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang masih muthlaq, dan memberikan takhshish (ketentuan
khusus) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah
mengerjakan shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Dalam al-Qur’an tidak
dijelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara-cara melaksankan shalat, tidak
dijelaskan nishab zakat dan tidak juga dipaparkan cara-cara melakukan
manasik haji. Tetapi semuanya itu telah dijelaskan secara detail
dlam hadits.
3. Menetapkan
hukum yang belum didapati dalam al-Qur’an. Dalam hal ini hukum hanya
berdasarkan hadits semata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang
terhadap seorang wanita dengan bibinya.
لايجمع بين المراة
وعمتهاولابين المراة وخالتها.(متفق عليه).
Artinya:
Seseorang tidak boleh memadu seorang wanita dengan ‘ammah (saudara perempuan
bapak) dan seorang wanita dengan khalah (saudara perempuan ibu). (HR.
Bukhari Muslim).
Dalam
Al-Qur’an tidak didapati larangan memadu
seorang wanita dengan bibinya. Larangan
ini semata-mata hanya berdasarkan hadits saja.[13]
2.4 Kedudukan Sanad dan Matan
Hadits
Kedudukan
sanad dalam hadits sangat penting karena hadits yang diperoleh/diriwayatkan
akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits, dapat
diketahui hadits yang dapat diterima atau ditolak dan hadits yang sahih atau
tidak sahih, atau di amalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan
hukum-hukum islam.
Para ahli hadis sangat berhati-hati dalam
menerima suatu hadis, kecuali apabila mengenal dari siapa perawi hadits tersebut menerima hadits
tersebut dan sumber yang disebutkan benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya,
riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan untuk diterima periwayatannya.
Akan tetapi, mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadits.
Pada masa Abu Bakar r.a. Dan Umar r.a., periwayatan hadits
diawasi secara hati-hati dan suatu hadits tidak akan diterima jika tidak
disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib
tidak menerima hadits sebelum orang yang meriwayatkannya disumpah.
Meminta
seseorang saksi kepada perawi
bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati
dalam menerima hadits. Jika dipandang tak perlu meminta saksi atau sumpah para
perawi, mereka pun menerimanya periwayatannya.
Ada
beberapa hadits dan atsar yang menerangkan keutamaan sanad, diantaranya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ibnu sirin,
“Ilmu
ini (hadis ini) adalah agama karena itu telitilah orang-orang yang kamu
mengambil agamamu dari mereka.”
Abdullah Ibnu Mubarak
berkata,
“Menerangkan
sanad hadis termasuk tugas agama. Andai tidak diperlukan sanad, tentu siapa
saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka ialah
sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya. Tanpa memerlukan
sanad. Adalah seperti orang yang manaiki loteng tanpa tangga.”
Asy-Syafi'i berkata,
“Perumpamaan
orang yang mencari (menerima) hadis tanpa sanad sama dengan orang yang
mengumpulkan kayu api di malam hari.”
Perhatian
terhadap sanad di masa sahabat,yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan
mereka mempunyai daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka,
terperiharalah sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli bid'ah dan para
pendusta. Karenanya pula, imam-imam hadis berusaha pergi dan melewat ke
berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul yang dilakukan
sanad 'ali.
Dengan
adanya sanad inilah, para imam ahli hadis dapat membedakan hadis yang sahih dan
hadis yang dhaif dengan cara melihat para perawi hadis tersebut. Jika tidak ada
sanad, niscaya Islam sekarang akan sama seperti pada zaman sebelumnya karena
pada zaman sebelumnya tidak ada sanad sehingga perkataan nabi-nabi mereka dan
orang-orang saleh diatara mereka tidak dapat dibedakan. Adapun Islam yang sekarang telah berumur 1400
tahun lebih masih dapat dibedakan antara perkataan Rasulullah SAW,dan perkataan sahabat.[14]
2.5 Hubungan dan Dokumentasi Hadits
1.
Sanad dan Hubungannya dengan
Dokumentasi Hadits
a.
Dokumentasi Sanad Hadits
Sebagai salah
satu data sejarah yang cukup lama, kitab-kitab hadits merupakan salah satu dokumen sejarah yang cukup tua. Perjalanan
sejarahnya sudah melewati waktu yang sangat panjang, sejak empat abad yang lalu. Kitab-kitab tersebut isinya terpelihara
secara murni dan diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya secara berkesinambungan.
Salah satu keistimewaan atau
keunikan hadits dari dokumen sejarah lainnya
di dunia ialah tertulisnya data orang-orang yang menerima dan meriwayatkan
hadits-hadits tersebut, yang disebut sanad.
Dengan ketelitian, semangat kerja yang tinggi dan profesional, khususnya
para penulis kitab hadits, sanad hadits satu persatu
terdokumentasikan secara urut. Hal ini dapat dilihat pada kitab,
AI-Jami’ ash-Shahih karya al-Bukhari dan Muslim. Mereka menuliskan nama-nama
sanad hadits masing-masing, meskipun untuk
hadits-hadits yang memiliki banyak jalan
sanad, seperti hadits-hadits mutawatir dan masyhur.
b. Peranan Sanad dalam Dokumentasi Hadits
Peranan sanad
pada dasarnya terbagi pada dua, yaitu untuk pengamanan atau
pemeliharaan matan hadits, dan untuk penelitian kualitas hadits satu per satu
secara terperinci.
Sanad hadits, dilihat
dari sudut rangkaian atau silsilahnya, terbagi kepada beberapa thabagah atau
tingkatan. Tingkatan tersebut menunjukkan
urutan generasi demi generasi, yang antara satu dengan lainnya bertautan atau
bersambung.
Hadits-hadits Rasul saw. yang
berada sepenuhnya di tangan mereka, diterima
dan disampaikan melalui dua cara, yaitu dengan cara lisan dan dengan cara tulisan. Cara yang pertama
merupakan cara yang utama ditempuh oleh para ulama ahli hadits dalam
kepastiannya sebagai sanad hadits. Hal ini karena dalam tradisi sastra
pra-Islam, masyarakat Arab telah
terbiasa dengan budaya hafal, yang dilakukannya sejak nenek moyang mereka. Dengan kegiatan ini, maka
tradisi lama yang cukup positif itu menjadi tetap terpelihara dan
dimanfaatkan untuk pemeliharaan ajaran agama.
Upaya
mengembangkan daya hafal ini semakin efektif dengan ditunjang oleh potensi, yaitu kuatnya daya hafal yang mereka miliki dan semangat
kerja yang termotifasi oleh keimanan, ketakwaan, dan tanggung jawab terhadap
terpeliharanya syariat Islam.
Cara yang kedua
(cara tulisan), pada awal Islam, kurang berkembang, jika dibanding masa-masa tabi’in
atba' tabi’in. Hal ini karena ada beberapa
faktor yang berkaitan dengan terbatasnya fasilitas penunjang, di samping adanya prioritas untuk lebih
mengefektifkan penyebaran Al-Qur’an. Namun demikian, kegiatan tulis
menulis berjalan dengan baik, yang turut
mendukung upaya pemeliharaan hadits. Di kalangan para sahabat, sebagaimana telah disebutkan di atas
ialah Abdullah bin Amr bin al-'ash, Jabir bin Abdillah, Abu Hurairah,
Abu Syah, Abu Bakar ashShiddiq, Ibn Abbas,
Abu Ayyub al-Anshari, Abu Musa al-Asy'ari, dan Anas bin Malik. Di kalangan para tabi’in besar, tercatat
nama-nama, antara lain Ikrimah, Umar bin Abd al-Aziz, Amarah binti abd
ar-Rahman, al-Qasim bin Muhammad bin Abi
Bakar, Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dan Muhammad bin Abi Kabsyah
al-Anshari. Kemudian pada kalangan tabi’in kecil, tercatat nama-nama,
antara lain Ibrahim bin Jarir, Ismail bin Abi Khalid al-Ahmasi, Ayyub bin abi
Tamimah as-Sakhytani, Tsabit bin Aslam, Al-Ahmasi, Ayyub bin Abi Sulaiman, Zaid
bin Aslam, dan Zaid bin Rafi (Muhammad Musthafa al-A’zhami, Lt.: 92-324).
Tulisan-tulisan mereka ada yang
berbentuk surat
yang dikirim kepada yang lain, yang di
dalamnya berisi nasehat atau pesan
Rasul Saw, seperti
yang dilakukan oleh Asid Hudhair al-Anshari kepada Marwan tentang peradilan
terhadap pencuri atau yang dilakukan oleh Jarir bin abdillah kepada Mu'awiyah tentang sebuah hadits yang berbunyi: "Man
lam yarham an-na'sa la yarhamullahu Allah 'Azza wa Jalla” (Siapa yang tidak menyayangi manusia, ia tidak akan menyayangi Allah).
Ada yang berupa catatan pribadi
semata, yang pada saatnya akan diriwayatkan kepada yang lain atau
murid-muridnya, baik melalui qirah atau. imla' (dibacakan atau
didekatkan di depan muridnya), ijazah (memberikan izin kepada muridnya
untuk meriwayatkan hadits kepada yang lain), al-muktaba (menuliskan hadits yang
diberikan kepada muridnya), dan beberapa cara lainnya.
Gambaran di
atas menunjukkan bahwa sanad memegang
peranan yang
menentukan terhadap kelangsungan
dan terpeliharanya hadits, yang berarti merupakan kontribusi besar bagi
kelangsungan Islam dan umatnya. Tanpa
usaha mereka, umat Islam akan menghadapi kesulitan dalam mempelajari sumber
ajaran yang kedua ini.[15]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Sanad menurut bahasa adalah
“sandaran”. Menurut
istilah, berarti “Silsilah
orang-orang (yang meriwayatkan hadits), yang menyampaikan kepada
matan hadits”. Rawi berarti orang yang meriwayatkan atau
memberitakan hadits (naqil al-hadits). Para perawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadits). Sedangkan matan adalah materi atau lafaz hadits itu sendiri.
2.
Untuk
menjamin bahwa kebenaran hadits Nabi, muhaditsun mengembangkan kriteria dan syarat-syarat tertentu
sehingga dapat diperoleh status apakah sebuah hadits
dapat diterima (maqbul) ataupun ditolak (mardud). Sebuah
hadits yang dinyatakan maqbul dapat dijadikan
hujjah, yakni pedoman dan panduan pengalaman syari’at, dapat
dijadikan alat istinbath dan bayan terhadap al Qur’an, sedangkan hadits mardud merupakan hadits yang ditolak sehingga
tidak dapat dijadikan hujjah.
3.
Tiga fungsi hadits dalam Islam yakni, menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh
Al-Qur’an, memberikan penafsiran
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum,
dan menetapkan hukum yang belum didapati dalam al-Qur’an.
4.
Sanad memegang peranan yang menentukan terhadap kelangsungan
dan terpeliharanya hadits, yang berarti merupakan kontribusi besar bagi kelangsungan
Islam dan umatnya. Tanpa
sanad, umat Islam akan menghadapi kesulitan
dalam mempelajari sumber ajaran yang kedua ini.
DAFTAR PUSTAKA
.
Endang
Soetari, 1997. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bhakti Press.
Subhi
Shalih, 1965. ‘Ulum al Hadits wa Mushthalahuhu. Beirut:
Daar al ‘Ilm li al Malayin.
M. Syuhudi Ismail, 1996. Kriteria Hadits Shahih; Kritik Sanad dan Matan. Yogyakarta: LPPI.
Alamsyah,
Masyrukhin Muksin dkk, Ilmu-Ilmu Hadits (Bandar Lampung: Pusikamla,2009)
h.8-9.
Agus Salihin & Agus
Suydi, Ulumul Hadits (Bandung:
PT PustakaSetia, 2008),
h. 101-104.
[2]
https://www.academia.edu/9947464/Sanad_Matan_dan_Perawi_Hadits (akses: 30 Maret 2015 puku 14:28)
[4] https://www.academia.edu/9947464/Sanad_Matan_dan_Perawi_Hadits (akses:
30 Maret 2015 pukul 14:28) op.cit.
[7] Subhi
Shalih, ‘Ulum al Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Daar al ‘Ilm li al Malayin,
1965) h. 141
[12]M. Syuhudi Ismail, Kriteria Hadits Shahih; Kritik Sanad
dan Matan, (Yogyakarta: LPPI, 1996) h. 9
-104.
[15]
https://www.academia.edu/9947464/Sanad_Matan_dan_Perawi_Hadits (akses: 30 Maret 2015 pukul 14:28) op.cit.