BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
"Dua
telapak kaki manusia tidak akan bergeser (pada Hari Kiamat) hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang
ilmunya untuk apa ia pergunakan,
tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia pergunakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia
korbankan" (HR. Tirmidzi dari Abu Barzah ra).
Hadits
diatas menjelaskan bahwa setiap manusia akan diminta pentanggungjawaban terhadap empat
perkara yakni tentang umurnya, ilmunya, hartanya,
dan tubuhnya. Tentang umur, ilmu dan tubuhnya setiap orang hanya ditanya dengan masing-masing satu
pertanyaan sedangkan berkaitan dengan harta
maka setiap orang akan ditanya dengan dua pertanyaan, yakni dari mana hartanya dia peroleh dan untuk apa
hartanya dia pergunakan. Hal ini memberikan suatu
gambaran bahwa Islam memberi perhatian yang besar terhadap segala aktivitas manusia yang berhubungan
dengan harta yang mengarah terhadap barang
dan jasa yang dihasilkan.
Menurut
An-Nabhaniy (1990), pandangan Islam terhadap masalah ekonomi dari segi keberadaan dan produksi harta
kekayaan (penciptaan barang dan jasa) dalam
kehidupan yakni ditinjau dari segi kuantitasnya—berbeda dengan pandangan Islam terhadap masalah cara
memperoleh, memanfaatan, serta mendistribusikan
harta kekayaan (barang dan jasa). Masalah ekonomi dari segi keberadaan dan produksi barang dan jasa
dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi
yang bersifat universal dan sama untuk setiap bangsa di dunia. Sedangkan masalah harta dari segi cara
memperoleh, memanfaatan, serta mendistribusikannya
dimasukkan dalam pembahasan sistem
ekonomi yang dapat berbeda
antar setiap bangsa sesuai dengan pandangan hidupnya (ideologinya).
Ayat-ayat
di bawah ini menunjukkan bahwa Allah SWT menegaskan bahwa Dia-lah
yang telah menciptakan benda-benda (harta) agar bisa dimanfaatkan oleh manusia secara keseluruhan. Allah SWT
berfirman dalam banyak ayat :
"Dialah
yang telah menciptakan untuk kalian semua apa saja yang ada di bumi. " (QS. Al-Baqarah : 29)
"Allah-lah
yang telah menundukkan untuk kalian lautan, agar bahtera bias berjalan di atasnyadengan
kehendak-Nya, juga agar kalian bisa mengambil kebaikannya.
"(QS. Al-Jatsiyat : 12)
"Dan
(Dialah) yang menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada dibumi. " (QS.
Al-Jatsiyat : 13)
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
tentang hakikinya harta dalam konsep Islam dan konvensional
2.
Analisa
persoalan harta yang terjadi antara konsep Islam dan konsep konvensional
3.
Wilayah
halal dan haram dalam aktifitas bisnis Islam
4.
Prinsip-prinsip
dasar transaksi dalam Islam
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tentang hakikinya harta dalam
konsep Islam dan konvensional
2. Untuk menganalisa persoalan harta yang terjadi antara
konsep Islam dan konspe konvensional
3. Untuk mengetahui wilayah halal dan haram dalam aktifitas
bisnis Islam
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip transaksi dalam Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian tentang
Hakikinya Harta dalam Konsep Islam dan Konsep Konvensional
1.
Harta Menurut Islam
Secara bahasa, sebagaimana dijelaskan dalam al-Muhith tulisan al-Fairuz Abadi, dalam
bahasa Arab, harta disebut al-mal atau
jamaknya al-amwal. Secara harfiah,
harta (al-mal) adalah ma malaktahu min
kulli syai. Artinya, segala sesuatu yang engkau punyai Adapun dalam istilah
syar’i, harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan dalam perkara
yang legal menurut hukum syara’, seperti bisnis, pinjaman, konsumsi, dan hibah.[1]
Kata harta dalam istilah ahli fiqh berarti, “Segala
sesuatu yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.” Allah menjadikan harta benda sebagai salah
satu diantara dua perhiasan kehidupan dunia. Allah Swt berfirman,
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia.” (QS. Al-Kahfi : 46)
Islam memandang harta sebagai salah satu bekal kehidupan
dunia. Ia merupakan salah satu sarana yang bisa mempermudah kehidupan manusia.
Sehingga harta itu tidak dicela karena digunakan pada hal-hal yang mungkar dan
diharamkan. Harta juga tidak dipuji jika dipergunakan pada hal-hal yang baik.
Harta hanya sebaagi sarana. Jika dipergunakan untuk kebaikan, maka ia akan
menjadi baik, dan sebaliknya. Allah Swt. Berfirman,
“Adapun orang yang memberikan (hartanya dijalan Allah) dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya
cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan
baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia
telah binasa.” (QS. Al-Lail:
5-11)
Imam Ghazali berkata, “Harta benda bagaikan ular, di
dalamnya terdapat racun dan penangakal. Faedah-faedah harta adalah
penangkalnya, sementara bencana adalah racunnya. Barangsiapa yang mengetahui
faedah dan bencananya, maka dia akan bisa menjaga diri dari dampak negatifnya,
dan akan memetik dampak positifnya.”
Maka bagaimanapun, harta benda merupakan bagian dari
hiasan dunia, yang tidak dianggap hina oleh Islam sehingga orang-orang Islam
harus menjauhinya. Namun Islam juga tidak mengagungkannya, sehingga Islam
memposisikannya sebagai kebangggan orang-orang Islam. Akan tetapi Islam
menjadikannya sebagai mediasi kebaikan, jika pemiliknya memang ingin
menggunakannya untuk kebaikan.[2]
2. Fungsi Harta
dalam Islam
a.
Untuk
menyempurnakan pelaksanaan ibadah. Misalnya kain untuk menutup
aurat, berzakat, pergi
haji dan lainnya.
b.
Untuk meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah,
c.
Untuk menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat.
d.
Untuk mengembangkan dan memperoleh ilmu,
karena menuntut ilmu tanpa
harta akan terasa sulit.
e.
Untuk memutarkan (mentasharuf)
peranan–peranan kehidupan yakni adanya
orang kaya dan miskin sehingga antara pihak saling membutuhkan, sehingga tejalin hubungan yang harmonis.
3. Harta
dalam Pandangaan Konvensional (Kapitalisme)
Menurut Peter Berger dalam bukunya yang
berjudul Kapitalisme Sebagai Suatu Fenomena, dia memahami kapitalisme sebagai
suatu fenomena historis. Dia mengatakan bahwa mekanisme pasar di dalam masyarakat yang digolongkan kapitalis
banyak ditentukan oleh perusahaan-perusahaan yang cenderung
monopolistis dan serikat-serikat buruh dan
datangnya ‘negara pajak’ telah memasukkan alokasi politik sebagai suatu faktor yang sangat penting dalam perekonomian
masyarakat kapitalis. Sehingga menurut Berger bahwa Amerika Serikat
lebih kapitalis dari pada uni Soviet.
Dengan melihat bahwa kapitalis tumbuh dan
berkembang dengan adanya istilah “kapital“, untuk
itu kapitalis memandang pemilikan harta adalah hak milik mutlak berada di tangan individu,
dimana peran utama dalam menguasai harta
adalah individu.
Dari pandangan kapitalisme dalam hal ini,
maka telah jelas bahwa kapitalisme ada sedikit perbedaan dengan
Islam, yaitu
:
1.
Kapitalisme tidak meletakkan aspek ruhani
dalam melakukan kegiatan ekonomi sehingga yang muncul adalah
penghambaan pada aspek materi saja.
Padahal jika tidak ada keseimbangan antara aspek ruhani dan aspek materi
berakibat dapat menjadikan individu tersebut hanya memperoleh kesenangan sesaat dan mengalami kekeringan
sumber kebahagian.
2.
Kapitalisme
kurang seimbang dalam pengembangan harta. Dimana
kapitalisme membolehkan kekayaan terpusat pada segelintir
orang, dengan alasan bahwa hanya kaum kayalah yang berhak menabung dan melakukan investasi. Hal ini telah memberi kesempatan untuk
menumpuk materi demi memperkuat kepentingan pribadi, sehingga
tidak adanya keseimbangan sosial antara si kaya dan si miskin.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT, QS 59:
7
“….supaya
kekayaan itu jangan hanya beredar diantara orang- orang kaya saja diantara kamu. “
3.
Kapitalisme
sangat mendukung kebebasan manusia. Dimana
manusia menjadi subjek atas
pemilikan harta, sehingga mengaburkan adanya hak mutlak dari Allah SWT. Sebagaimana dalam Islam bahwa semua harta
adalah milik Allah SWT dan manusia menguasainya sebagai amanah
dari Allah SWT, menunjuk pada pemilikan kekayaan secara
kolektif, sedang kebebasan tanpa batas
atas kekayaan pribadi menyebabkan kaum miskin menjadi sangat miskin dan kaum kaya menjadi sangat
kaya.
4.
Kapitalisme
tidak menitik beratkan pada tanggung jawab kolektif. Hal ini terlihat adanya kebijakan- kebijakan bagi
setiap individu untuk membayar pajak
pendapatan progresif dan death
duties (pemajakan atas harta
orang mati sebelunm dibagi kepada para ahli
warisnya), namun kebanyakkan individu
tidak peka dan peduli bahkan melakukan penghindaran dan pengelakkan
pajak. Dan ini sangat tidak bertanggung jawab terhadap kolektif. Dan disini tidak adanya campur
tangan negara dalam pengelolaan pajak.[4]
2.2
Analisa Persoalan
Harta yang Terjadi antara Konsep Islam dan Konsep Konvensional
1.
Konsep Kepemilikan
Harta Kekayaan dan Pengelolaannya
Pertama, perbedaan
antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional (sosialis dan kapitalis) adalah dalam hal konsep kepemilikan harta. Kepemilikan harta (barang dan jasa) dalam sistem sosialis dibatasi dari segi jumlah
(kuantitas), namun dibebaskan dari
segi cara (kualitas) memperoleh harta yang dimiliki. Artinya dalam memperolehnya dibebaskan dengan cara
apapun yang dapat dilakukan. Sedangkan
menurut pandangan sistem
kapitalis jumlah (kuantitas) kepemilikan harta individu berikut cara
memperolehnya (kualitas) tidak dibatasi, yakni
dibolehkan dengan cara apapun selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sedangkan menurut sistem Islam
kepemilikan harta dari segi jumlah
(kuantitas) tidak dibatasi namun dibatasi dengan cara-cara tertentu (kualitas) dalam memperoleh harta (ada
aturan halal dan haram).
Demikian
juga pandangan tentang jenis kepemilikan harta. Dalam sistem sosialis
tidak dikenal kepemilikan individu (private property), yang ada hanya kepemilikan negara (state
property) yang dibagikan secara merata kepada seluruh
individu masyarakat. Kepemilikan negara selamanya tidak bisa dirubah menjadi kepemilikan individu. Berbeda
dengan itu di dalam sistem kapitalis
dikenal kepemilikan individu (private property) serta kepemilikan umum (public property). Perhatian
sistem kapitalis terhadap kepemilikan individu jauh lebih besar dibandingkan
dengan kepemilikan umum. Tidak jarang kepemilikan
umum dapat diubah menjadi kepemilikan individu dengan jalan privatisasi. Berbeda
lagi dengan system Islam,
yang mempunyai pandangan bahwa
ada kepemilikan individu (private property), kepemilikan umum (public property) serta
kepemilikan negara (state property). Menurut sistem Islam, jenis kepemilikan umum khususnya
tidak boleh diubah menjadi kepemilikan
negara atau kepemilikan individu.
Kedua, perbedaan dalam hal konsep pengelolaan kepemilikan
harta, baik dari segi nafkah
maupun upaya pengembangan kepemilikan. Menurut sistem kapitalis dan sosialis, harta yang telah
dimiliki dapat dipergunakan (konsumsi)
ataupun di kembangkan (investasi) secara bebas tanpa memperhatikan aspek halal dan haram
serta bahayanya bagi masyarakat. Sebagai
contoh, membeli dan mengkonsumsi minuman keras (khamr) adalah sesuatu yang dibolehkan, bahkan upaya
pembuatannya dalam bentuk pendirian pabrik-pabrik
minuman keras dilegalkan dan tidak dilarang.
Sedangkan
menurut Islam harta yang telah dimiliki, pemanfaatan (konsumsi) maupun pengembangannya
(investasi) wajib terikat dengan ketentuan halal
dan haram. Dengan demikian maka membeli, mengkonsumsi barang-barang yang haram adalah tidak diperbolehkan.
Termasuk juga upaya investasi berupa memproduksi, menjual, membeli dan mengkonsumsi
minuman keras adalah sesuatu yang dilarang
dalam Islam..[5]
2.3
Wilayah Halal dan Haram dalam Aktifitas Bisnis Islam
Pada dasarnya, setiap kegiatan
muamalah manusia termasuk kegiatan berbisnis semuanya diperbolehkan selagi disitu tidak
ada dalil yang melarangnya. Maka untuk menjelaskan wilayah halal
mengenai bisnis tentunya akan mudah ketika langsung diperbandingkan dengan
wilayah keharaman muamalah atau bisnis tersebut.
Mengenai hal-hal yang haram dilakukan dalam
bisnis atapun bermuamalah, Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan
yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Mekanisme suka sama suka adalah
panduan dan garis Al-Quran dalam melakukan kontrol terhadap perniagaan yang
dilakukan. Teknik, sistem
dan aturan main tentang tercapainya tujuan ayat tersebut menjadi ruang ijtihad
bagi pakar muslim dalam menerjemahkan konsep dan implementasinya pada konteks
modern saat ini.[6]
Beberapa hal yang haram dilakukan
dalam aktivitas bisnis dapat dirincikan sebagai berikut.
1.
Pembuatan dan penjualan
barang-barang haram.
Jual beli barang yang dzatnya haram,
najis atau tidak boleh diperjual belikan. Barang yang najis atau haram dimakan
haram juga untuk diperjualbelikan, seperti babi, berhala, bangkai dan khomr
(minuman yang memabukkan). Rosulullah SAW bersabda:
إن الله إذا حرم على قوم أكل شيء حرم
عليهم ثمنه (رواه أبو دود و أحمد)
“Sesungguhnya Allah apabila
mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia mengharamkan juga memperjualbelikannya.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)[7]
2.
Jual beli yang belum jelas
Sesuatu yang bersifat spekulasi atau
samar-samar haram untuk diperjualbelikan, karena dapat merugikan salah satu
pihak baik itu penjual maupun pembeli. Yang dimaksud dengan samar-samar disini
yaitu tidak jelas, baik barangnya, harganya, kadarnya, masa pembayarannya,
maupun ketidak jelasan yang lainnya.
3.
Jual beli bersyarat
Jual beli yang ijab kabulnya
dikaitkan dengan syarat-syarat terentu yang tidak ada kaitannya dengan jual
beli atau ada unsur-unsur yang merugikan dan dilarang oleh agama. Misalnya ketika terjadi ijab qabul si pembeli berkata, “Ya, saya jual mobil ini kepadamu sekian asal anak gadismu
menjadi istriku.”[8]
4.
Jual beli yang dilarang karena
dianiaya
Segala bentuk jual beli yang
mengakibatkan penganiayaan hukumnya
haram. Seperti menjual anak binatang yang masih membutuhkan induknya. Menjual
binatang seperti ini, selain memisahkan anak dari induknya juga melakukan
penganiayaan terhadap anak binatang tersebut.
5.
Transaksi yang mengandung unsur riba
Pengambilan riba mengakibatkan
sesorang menjadi rakus, bakhil, terlampau cermat dan mementingkan diri sendiri.
Melahirkan perasaan benci, marah, bermusuhan, dan dengki dalam diri orang-orang
yang terpaksa membayar riba. Oleh karena itu Allah membenci dan melarang
riba dan menghalalkan sedekah.[9]
6. Mengurangi
timbangan atau takaran
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang
yang curang (dalam menakar dan menimbang), yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain, mereka mengurangi” (QS. Al-muthaffifin: 1-3)
7.
Judi (al-maysir)
Al-Qur’an melarang tegas
berjudi. Judi ditetapkan sebagai hal yang
harus dihindari dan dijauhi oleh orang yang beriman bersama-sama dengan larangan khamr dan mengundi nasib,
karena termasuk dalam perbutan setan.
8.
Ihtikar (Penimbunan)
Penimbunan adalah pengumpulan dan
penimbunan barang-barang tertentu yang dilakukan daengan sengaja sampai batas
waktu tertentu untuk
menunggu tingginya harga barang-barang tersebut.[10]
Dari sudut pandang ekonomi,
menyebabkan tidak transparan dan keruhnya peran serta menyulitkan pengendalian
pasar sehingga dapat membahayakan
perekonomian dan moral.[11]
9.
Monopoli
Situasi dalam pasar dimana hanya ada
satu atau segelintir perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu yang tidak punya
pengganti yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan untuk masuk dalam industri tersebut.[12]
Praktek monopoli berlawana dengan
etika bisnis baik dari segi akan merugikan banyak pihalk maupun akan
menyebabkan tidak transparannya transaksi-transaksi di pasar.[13]
Dampaknya, akan muncul sebuah tindakan
eksploitatif orang yang berkuasa terhadap golongan yang membutuhkan, mereka
akan dengan mudah menentukan harga sesuai dengan keinginan mereka untuk
menumpuk harta.[14]
10. Jual
beli barang rampasan dan curian
”Barang siapa yang membeli barang curian sedangkan
ia tau bahwa barang itu curian, maka ia ikut dalam dosa dan kejelekannya.” (HR. Baihaqi).[15]
2.4
Prinsip-Prinsip
Dasar Transaksi dalam Islam
1. Prinsip Persaudaraan (ukhuwah)
Nilai universal yang
menata interaksi sosial, harmonisasi kepentingan, saling menolong & memberi manfaat. Dalam prinsip ukhuwah
(persaudaraan), seseorang tidak boleh mendapat keuntungan di atas kerugian
orang lain.
Prinsip ukhuwah: saling mengenal
(ta’aruf), memahami (tafahum), menolong (ta’awun),
menjamin (takaful), bersinergi, beraliansi (tahaluf).
2. Prinsip keadilan (‘adalah)
Tempatkan sesuatu pada
tempatnya, berikan sesuatu pada yang berhak, perlakukan sesuatu sesuai
posisinya. Implementasi keadilan
dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur
riba, zalim, maysir, gharar, haram.
3. Prinsip Kemaslahatan (mashlahah)
Segala kebaikan &
manfaat berdimensi duniawi & ukhrawi, material & spiritual,
individual & kolektif. Kemaslahatan harus memenuhi dua unsur yakni kepatuhan syariah
(halal) serta bermanfaat dan membawa kebaikan (thayyib) dalam semua
aspek. Transaksi syariah yang
bermaslahat harus memenuhi secara keseluruhan unsur-unsur yang menjadi tujuan
ketetapan syariah (maqasid syariah).
Maqashid Syariah: (a) akidah, keimanan
dan ketakwaan, (b) intelek, (c) keturunan, (d) jiwa dan keselamatan, dan (e)
harta benda.
4. Prinsip Keseimbangan (tawazun)
Aspek material/spiritual,
privat/publik, sektor keuangan/riil, bisnis/sosial, pemanfaatan/pelestarian. Transaksi syariah tidak
hanya menekankan pada maksimalisasi keuntungan perusahaan semata untuk
kepentingan pemilik (shareholder). Manfaat yang didapatkan tidak hanya fokus pada
pemegang saham, tetapi pada semua pihak yang terkait dengan suatu kegiatan
ekonomi.
5. Prinsip universalisme (syumuliyah)
Esensinya dapat dilakukan
oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholder). Universalisme tidak
membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai dengan semangat rahmatan
lil alamin.[16]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Dalam
istilah syar’i, harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan dalam
perkara yang legal menurut hukum syara’. Islam memandang harta sebagai salah satu
bekal kehidupan dunia dan merupakan salah satu sarana yang bisa mempermudah
kehidupan manusia.
Sedangkan kapitalis memandang pemilikan harta sebagai hak milik
mutlak yang berada di tangan
individu, dimana peran utama dalam menguasai harta
adalah individu.
2.
Konsep Islam dan konsep
konvensional memiliki perbedaan pandangan mengenai konsep kepemilikan kekayaan
dan pengelolaan harta. Dimana konsep Islam senantiasa lebih
sempurna dan mengedepankan kesejahteraan bersama, ketimbang kesejahteraan
invidu.
3.
Pada dasarnya, setiap kegiatan muamalah manusia termasuk
kegiatan berbisnis, semuanya diperbolehkan selagi tidak ada dalil yang melarangnya. Mengenai hal-hal yang haram dilakukan dalam
bisnis atapun bermuamalah, Allah Swt.
berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan
yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Mekanisme suka sama suka adalah
panduan dan garis Al-Quran dalam melakukan kontrol terhadap perniagaan yang
dilakukan.
4.
Prinsip-prinsip dasar transakis Islam
hendaknya senantiasa berlandaskan pada prinsip persaudaraan (ukhuwah), keadilan (‘adalah), kemaslahatan (mashlahah), keseimbangan (tawazun) da
Universalisme (syumuliyah).
DAFTAR PUSTAKA
Yusanto,
I. Muhammad & Widjajakusuma, K. Muhammad,
2002. Menggagas Bisnis Islami. Jakarta:
Gema Insani.
Asyraf M.
Dawwabah, 2008. Bisnis Rasulullah. Semarang:
Pustaka Nuun.
_____ Diperoleh 27 Maret , dari: https://aliaariesanti.files.wordpress.com/2012/09/konsep-harta-dalam-islam.pdf
Amir
Effendi Siregar, Ed., Arus Pemikiran Ekonomi Politik, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991
_____
Diperoleh 25 Maret 2015, dari: http://sumsel.kemenag.go.id/file/file/BDKPalembang/bjoz1346125944.pdf
Faisal Badroen, 2007. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Kencana.
Abdul Rahman Ghazali, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana, 2010.
Muhammad, 2011. Manajemen Bank Syari’ah. Yogyakarta: UPPSTIMYKPN.
R. Lukma
Farouni, 2006. Etika Bisnis dalam
Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Muhammad, 2004. Etika Bisnis Islam. Yogyakarta: UPDAMPYKPN, 2004.
Abdul Sami’ Al-Mishri, 2006. Pilar-Pilar Ekonomi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____ Diperoleh 29 Maret 2015, dari: http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=22868&Itemid=204
[1] Muhammad I.
Yusanto & Muhammad K. Widjajakusuma,
Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta:
Gema Insani, 2002) hal.18.
[4] Amir Effendi
Siregar, Ed., Arus Pemikiran Ekonomi Politik, (Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana
Yogya, 1991),
hal.
114.
[5]
http://sumsel.kemenag.go.id/file/file/BDKPalembang/bjoz1346125944.pdf (diakses: 25 Maret 2015
pukul 14.51)
[8] Ibid., hal. 83
[10]R.
Lukma Farouni, Etika Bisnis dalam
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2006) hal. 128.
Pustaka Pelajar, 2006) hal. 94.
[16]http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=22868&Itemid=204
(diakses: 29 Maret 2015 pukul 15.21)