BAB
II
PEMBAHASAN
Setelah pemikiran Renaissance sampai pada penyempurnaannya,
yaitu telah tercapainya kedewasaan pemikiran, maka terdapat keseragaman
mengenai sumber pengetahuan yang secara alamiah dapat dipakai manusia, yaitu
akal (rasio) dan pengalaman (empiri). Karena orang mempunyai kecenderungan
untuk membentuk aliran berdasarkan salah satu diantara keduanya, maka
kedua-duanya sama-sama membentuk aliran tersendiri yang saling bertentangan.[1]
Secara etimologis rasionalisme berasal dari
kata bahasa Inggris, rationalism.
Kata ini berakar dari kata dalam bahasa latin ratio yang berarti “akal”.
Menurut A.R. lacey berdasarkan akar katanya, rasionalisme adalah sebuah
pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan
pembenaran. Rasionalisme merupakan paham atau aliran atau ajaran yang
berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber
kebenaran hakiki.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini
dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi
peranan utama dalam penjelasan. ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber
utama pengetahuan, mendahului dan bebas dari pengamatan indrawi. Hanya
pengetahaun yang diperoleh melalui akal yang memenuhi semua syarat pengetahuan
ilmiah alat terpenting dalam memperoleh pengatahun dan mengetes pengetahuan.
“Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal.[2]
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber
pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nila
pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis
perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang
sesuatu.. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau
yang menunjuk kepada pernyataan, maka kebenaran hanya dapat ada dalam pikiran
kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.[3]
2.2.
Pendiri
Filsafat Rasionalisme
Rasionalisme dipelopori
oleh Rene Descartes (1596-1650) yang disebut sebagai bapak filsafat modern. Ia
menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandinganya, harus disusun
oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang
umum. Yang harus dipandang sebagai hal yang benar adalah apa yang jelas dan
terpilah-pilah. Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu pasti, karena
ilmu pasti dapat dijadikan model cara mengenal secara dinamis.
Rene Descartes
yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang
dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akallah
yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan
akal dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan
dalam ilmu pasti.
Latar belakang
munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari segala
pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima tetapi ternyata tidak
mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Apa yang ditanam
Aristoteles dalam pemikiran saat itu juga masih dipengaruhi oleh
khayalan-khayalan.
Descartes
menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlikan titik tolak
pemikiran yang pasti yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan, cogito ergo
sum (saya berpikir maka saya ada). Jelasnya, bertolak dari keraguan untuk
mendapatkan kepastian.[4]
2.3.
Tokoh-Tokoh
Besar Filsafat Rasionalisme (Descartes, Spinoza, Leibniz) dan Pemikiran
Pokoknya
Descartes, Spinoza, dan Leibniz adalah tokoh
besar filsafat rasionalisme. Sebelum itu, pengertian rasionalisme perlu
diuraikan lebih dahulu. Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan
dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas,
dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisisme.
Sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah
menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali
pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato,
Aristoteles), dan juga beberapa tokoh sesudah itu. Pada zaman modern filsafat,
tokoh pertama rasionalisme ialah Descartes.
Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat
Modern. Menurut Bertrand Russel, anggapan itu memang benar. Kata “Bapak”
diberikan kepada Descartes karena dialah orang yang pertama pada Zaman Modern
itu yang membangusn filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang
dihasilkanoleh pengetahuan akliah. Dialah orang pertama di akhir Abad
Pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat, yang menyimpulkan bahwa dasar
filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan kitab suci, bukan yang
lainnya.
Descartes telah lama merasa tidak puas terhadap
perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban itu. Amat
lamban terutama bila dibandingkan dengan perkembangan filsafat pada zaman
sebelumnya. Ia ingin filsafat dikembalikan kepada semangat filsafat Yunani,
yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Ia ingin menghidupkan kembali
rasionalisme Yunani.
2.3.1.
Descartes (1596-1650)
Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal
pada tahun 1650. Menurut catatan, Descartes adalah orang Inggris. Ayahnya
angggota perlemen Inggris. Pada tahun 1612 Descartes pergi ke Perancis. Ia taat
mengerjakan ibadah menurutajaran agama Katholik, tetapi ia juga menganut
Galileo yang pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh Gereja. Dari tahun
1629 sampai dengan tahun 1649 ia menetap di Belanda.
Bukunya yang terpenting di dalam, filsafat
murni ialah Discours de la Methode
(1637) dan Meditations ( 1642). Kedua
buku ini saling melengkapi satu sama lain. Didalam kedua buku inilah ia
menuangkan metodenya yang terkenal itu, metode ini juga sering disebut Cogito Descartes, atau metode cogito saja.
Ia mengatahui bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh
gereja. Bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal). Untuk meyakinkan orang
bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasi yang amat terkenal.
Argumentasi itu tertuang di dalam merode cogito
tesebut.
Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes
meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia
mencoba meragukan semua yang dapat diindera, objek yang sebenarnya tidak
mungkin diragukan. Inilah langkah pertama metode cogito tersebut. Keraguan ini menjadi mungkin karena pada
pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, juga pada pengalaman dengan roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas.
Oleh karena itu, Descartes berkata, “Aku dapat meragukan bahwa aku duduk disini
dalam keadaan siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang
aku bermimpi persis seperti itu, padahal aku ada di tempat tidur sedang
bermimpi.” Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi. Tidak ada batas atau
perbedaan yang tegas dan jelas antara mimpi dan jaga; demikian yang dimaksud
Descartes.[5]
Ia berpikir bahwa dengan cara meragukan
semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya
dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut
bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran,
namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan.
Sampai di sini, Descartes menyadari
bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia
tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang jelas. Dan tidak mungkin salah.
Maksudnya, tak mungkin kekuatan tadi membuat kalimat "ketika berpikir,
sayalah yang berpikir" salah. Dengan demikian, Descartes sampai pada
kesimpulan bahwa ketika ia berpikir, maka ia ada. Atau dalam bahasa Latin: Cogito Er Sum, “aku berpikir maka aku
ada”.[6]
Descartes
menggariskan 4 langkah aturan sebagai berikut:
1.
Kita harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka
dalam mengambil sesuatu keputusan dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal
secara jelas dan tegas sehingga mustahil disangsikan.
2.
Setiap persoalan yang diteliti dibagikan dalam sebanyak
mungkin bagi sejauh yang diperlukan bagi pemecahan yang memadai.
3.
Mengatur pikir sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari
objek yang sederhana sampai pada objek yang lebih kompleks. Atau dari
pengertian yang sederhana dan mutlak sampai pada pengertian yang komplek dan
nisbi.
4.
Setiap permasalahan ditinjau secara universal atau
menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan.[7]
Dua
pertanyaan yang dikemukakan Descartes dalam ijtihadnya menetapkan adanya Tuhan
yang menjadikan alam semesta ini. Pertama: benarkah ada Tuhan? kedua, apakah
Tuhan yang ada itu?
Untuk
mengenal adanya Tuhan, Descartes perlu menempuh jalan yang belum pernah dilalui
orang lain menurut jalan berfikirnya. Seorang harus terlebih dahulu melepaskan
dirinya dari tubuhnya kemudian mencari kebenaran di dalam lautan diri yang
telah terlepas dari jasmani. Hal itu bukan saja untuk mengetahui di luar diri
sendiri, tetapi juga demikian untuk mengetahui dirinya yang sebenarnya.[8]
Kepastian
bahwa ia adalah “sesuatu yang berpikir” yang memberi Descartes landasan yang ia
perlukan untuk membangun bangunan pengetahuan. Ia telah mendirikannya dengan
metode ragu dan dengan memakai apa yang disebutnya dengan “cahaya nalar”. Ia
terus menawarkan dua argumen untuk eksistensi Tuhan. Argumen pertama dimulai
dari kesadarannya akan dirinya sendiri sebagai yang ada yang karena
keraguannya, tidak sempurna namun mampu membuat gagasan tentang Tuhan sebagai
wujud yang sempurna.[9]
2.3.2.
Spinoza
(1632-1677)
Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan
dirinya dari agama Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia
hidup dipinggiran kota Amsterdam.
Menurut Solomon (1981:71), cara terbaik
mempelajari metafisika modern ialah mempelajari karya-karya metafisika para
filosof. Mempelajarinya jangan terpisah-pisah. Cara sepert ini akan menyulitkan
kita mengetahui hubungan perekat dalam system filosof tesebut. Solomon
menganjurkan untuk mempelajari lebih dulu metafisika abad ke-17. Filosofnya
ialah Spinoza, dan yang kedua ialah Leibniz.
Baik Spinoza maupun Leibniz ternyata mengikuti pemikiran
Descartes. Dua tokoh terakhir ini menjadi substansi sebagai tema pokok dalam
metafisika mereka, dan mereka berdua juga mengikuti metode Descartes. Tiga
filosof ini biasanya dikelompokkan ke dalam satu mazhab, yaitu rasionalisme.
Seperti dalam geometri, Spinoza memulai dengan
meletakkan defenisi-defenisi. Cobalah perhatikan beberapa contoh defenisi ini
yang digunakan dalam membuat kesimpulan-kesimpulan dalam metafisika (defenisi
ini diambil dari Solomon : 73)
Beberapa Definisi:
1.
Sesuatu yang sebabnya pada dirinya, saya maksudkan esensinya mengandung
eksistensi, atau sesuatu yang hanya dipahami sebagai ada.
2.
Sesuatu dikatakan terbatas bila ia dapat
dibatasi oleh sesuatu yang lain, misalnya tubuh kita terbatas, yang
membatasinya ialah besarnya tubuh kita itu.
3.
Substansi ialah
sesuatu yang ada dalam dirinya, dipaham melalui dirinya, konsep dapat dibentuk
tentangnya bebas dari yang lain.
4.
Yang saya maksud dengan atribut (sifat) ialah apa yang dapat dipahami sebagai melekat pada
esensi substansi.
5.
Yang saya maksud mode ialah perubahan-perubahan pada substansi
6.
Tuhan yang saya maksud ialah sesuatu yang
terbatas secara absolute (mutlak)
7.
Sesutau saya sebut bebas ialah sesuatu yang ada
sendirian, bukan disebabkan oleh yang
lain, dan tindakannya ditentukan olehnya sendiri.
8.
Yang saya maksud dengan kekekalan (etermity) ialah sifat pada eksistensi
itu tadi
Spinoza
berpendapat bahwa apa saja yang benar-benar ada, maka adanya itu haruslah
abadi.
Aksioma-aksioma
1.
Segala sesuatu yang ada, ada dalam dirinya atau
ada dalam sesuatu yang lain.
2.
Sesuatu yang tidak dapat dipahami melalui
sesuatu yang lain harus di pahami melalui dirinya sendiri.
3.
Dari suatu sebab, tentu di ikuti akibat; bila
tidak ada sebab tidak mungkin akan ada akibat yang mengikutinya.
4.
Pengetahuan kita tentang akibat di tentukan
oleh pengetahuan kita tentang sebab
5.
Sesuatu yang tidak bisa di kenal umum yang
tidaak akan dapat di pahami; konsep tentang sesuatu tidak melibatkan konsep
tentang yang lain.
6.
Ide yang benar harus sesuai dengan objeknya
7.
Bila sesuatu dapat di pahami sebagai tidak
adanya maka esensinya tidak ada.
Berdasarkan definisi dan aksioma itu
Spinoza mulai membuktikan proposisi-proposisinya:
Proposisi
Prop I. Subtansi mesti mendahului
modifikasinya.
Bukti Ini jelas dari Definisi III dan V
Prop II. Dua substansi yang atributnya
berbeda tidak akan mempunyai persamaan.
Bukti Juga jelas dari Definisi II karena sesuatu dan dipahami
melalui dirinya. Dengan kata lain, konsep tentang sesuatu tidak sama dengan
konsep tentang sesuatu yang lain. Dan seterusnya.
Demikianlah kilasan
tentang metafisika Spinoza. Ia juga berbicara tentang etika, tetapi tidak kita
bicarakan di sini. Kita hanya ingin melihat apa kira-kira sumbangan Spinoza
dalam kekalauan pemikiran pada zaman modern itu. Di sini jelas sumbangannya
adalah dalam metafisika.[10]
2.3.3.
Leibniz
(1646-1716)
Gotifried Willheim von Leibniz, ia filosofi Jerman,
matematikawan, fisikawan, sejarahwan. Pusat metafisikanya adalah idea tentang
substansi yang di kembangkan dalam konsep monad.
Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian
pada substansi. Bagi Spinoza ,alam semesta ini mekanistis dan keseluruhnya
bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz adalah hidup, dan
setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan. Penentuan prinsip filsafatnya ialah “prinsip
akal yang mencukupi” yang secara sederhana dapat di rumuskan “sesuatu harus
mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang
di ciptakan-Nya. Kita lihat bahwa prinsip ini menuntun filsafat Leibniz.
Sementara Spinoza berpendapat bahwa hanya ada
satu subtansi. Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak Ia menyebut
subtansi-subtansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dengan yang lain dan
Tuhan (sesuatu yang supermonad dan
satu-satunya monad yang tidak di
cipta) adalah pencipta monad-monad
itu. Maka karya Leibniz tentang ini di beri judul Monadology (studi tentang monad)
yang tahun 1714. Ini adalah singkatan metafisika Leibniz:
1.
Monad, yang kita
bicarakan di sini, adalah substansi yang sederhana, yang selanjutnya menyusun
substansi yang sederhana, yang selanjutnya menyusun substansi yang lebih besar.
2.
Harus ada substansi yang sederhana karena adanya
susunan itu, karena susunan tidak lain darisuatu koleksi substansi sederhana.
3. Sekarang, apa
pun yang tidak mempunyai bagian-bagian tentulah tidak mempunyai ukuran, tidak
berbentuk, tidak dapat dibagi. Monad itu
adalah atom yang sebenarnya pada sifatnya dan kenyataannya adalah unsur segala
sesuatu.
Tiga proposisi pertama Leibniz
adalah jawaban dari pertanyaan metafisika kita: “Ada berapa subtansi itu?”
Jawabnya: “Banyak”. Jawaban ini menyebabkan Leibniz seorang pluralis. “Subtansi
apa saja?” Subtansi itu simple dan
immaterial, yang menandai bahwa Leibniz sebagai seorang immaterialis.
Pertanyaan “Apakah subtansi itu
kekal, atau apakah subtansi itu muncul tadinya? Bagaimana cara munculnya
subtansi itu, dan apakah subtansi itu dapat rusak?” Inilah proposisi ke-4,
ke-5, dan ke-6.
4. Ke'rusakan,
karena itu, tidak akan terjadi pada substansi itunya, ya karena tidak dapat di
bagi itu ,karena imaterial itu.
5. Dengan cara
yang sama tidak ada jalan untuk memahami simple
substance itu dicipta (come into
exintence) karena monad itu tidak
dapat di bentuk dengan menyusun .
6. Kita hanya
dapat menyatakan sekarang bahwa monad itu
mulai dan berakhir hanya satu kali. Monad
peniadaan, yang tersusun mempunyai permulaan dan berakhir melalui
peniadaan. Yang terusan mempunyai permulaan dan berakhir secara berangsur
“Bagaimana kita membedakan satu monad dengan monad yang lain?
7. Monad tidak mempunyai kualitas, karenanya mestinya
tidak akan pernah ada.
8. Setiap monad harus di keadaan satu dengan
lainnya karena tidak pernah ada isi alam yang sama sekalipun kita tidak dapat
mengetahui perbedaan itu.
“Bagaimana
subtansi itu berinteraksi?”
9. Tidak ada jalan
masuk menjelaskan bagaimana monad-monad
itu dapat berubah dalam dirinya sendiri oleh sesuatu di luarnya karena tidak
ada kemungkinan suatu yang masuk ke dalamnya. Monad tidak memiliki suatu jendela yang lewat jendela itu sesutau
dapat masuk dan keluar.
Masalahnya
ialah setiap subtansi itu bebas, dan karena itu sesuatu yang lain tidak dapat
melakukan sesuatu kepadanya satu sama lainnya. Leibniz adalah pluralis; ada
lebih dari satu substansi, yang tidak dapat saling berinteraksi. Monad
itu tidak mempunyai jendela; mereka tidak memahami satu sama lain. Ia
mengatakan, “Tidak ada yang dapat masuk dan keluar”. Dan Leibniz tidak mau
mengambil penyelesaian lama bahwa monad-monad itu berkombinasi dan
berkombinasi lagi untuk membentuk susunan. Jadi, bagaimana monad
berubah? Mereka harus mempunyai perubahan tatkala meraka diciptakan Tuhan,
dalam dirinya sendiri. Jadi, perubahan monad ada secara internal,
diprogram oleh Tuhan tatkala menciptakannya. Perhatikan, monad itu
imaterial, jadi ia “berkembang” tidak dapat dipahami oleh dunia fisik.
Pertumbuhan (termasuk perubahan tentunya) terjadi secara internal, terjadi
antar monad; ini hanya dipahami oleh
dunia monad itu. Disini kelihatan bahwa Leibniz seorang idealis.
Selanjutnya di dalam menjelaskan ini
kita mengetahui bahwa Leibniz membedakan persepsi (perception) dengan kesadaran (consciousness).
Persepsi adalah pengalaman tentang monad;
kesadaran adalah pengalaman khusus, pengalaman reflektif dan hanya terdapat di
dalam beberapa monad.
Dari isini ia menyusun proposisi untuk mengkritik Newton yang teori alam
semestanya materialistis. Leibniz menghendaki ada aspek imaterial dalam alam
semesta ini.
Kedua-duanya (Spinoza dan Leibniz)
memperlihatkan teori yang kabur serta meragukan. Kedua-duanya memulai dari
basis yang sama (dari substansi), metode yang sama (deduksi), tetapi tiba pada
kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Amat sulit mengatakan mana yang benar.
Sepertinya sama-sama benarnya. Akhirnya orang-orang bergantung pada argumen
yang dianggapnya benar. Ada juga yang bingung sama sekali. Mudah ditebak,
situasi ini melahirkan keraguan yang merata. Bila dipandang secara umum,
situasi ini disebut relativisme kebenaran, Keadaan itu sama persis dengan
situasi umum filsafat sofisme Yunani. Kebenaran sains diragukan, ajaran agama
digoyahkan. Itu semua dilambangkan dalam satu istilah saja: kebenaran itu
relatif. Kata relatif itu digunakan untuk menunjuk suasana umum. Mungkin saja
ada filosof yang tidak menganut relativisme. Akan tetapi, keseluruhan pemikiran
itu berwarna relativisme.[11]
[1] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1995), hal. 115.
[2]
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu
Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005),
hal, 66
[3] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2014), hll. 155
[4] Asmoro Achmadi, op. cit., hlm,
115-116.
[5] Ahmad Tafsir, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm, 129
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Cogito_ergo_sum
(Akses 15 Oktober 2014)
[7] Rizal Mustansyir, Filsafat
Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 28 – 29.
[8]
H. Hamzah Yaqub, Filsafat
Agama, Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm.
35 – 37
[9] Diane Collinson, Lima Puluh
Filosof Dunia yang Menggerakkan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), hlm. 84
[10] Ahmad Tafsir, op. cit., hlm.
133-138
[11]
Ibid, hlm. 138-144