BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai
agama terakhir, islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dengan
agama-agama yang datang sebelumnya. Melaului berbagai literature yang berbicara
tentang islam dapat dijumpai uraian mengenai agama islam, sumber, dan ruang
lingkup ajarannya serta cara untuk memahaminya. Dalam upaya memahami ajaran
islam, berbagai aspek yang berkenaan dengan islam itu perlu dikaji secara
seksama, sehingga dapat dihasilkan pemahaman islam khoperhensif. Hal ini
penting dilakukan, karena kualitas pemahaman seseorang akan mempengaruhi pola
pikir, sikap, dan tindakan keislaman seseorang. Kita barangkali sepakat
terhadap kualitas keislaman seseorang yang benar-benar khomperhensif dan
berkualitas. Untuk itu uraian di bawah ini diarahkan untuk mendapatkan hasil
pemahaman tentang islam yang demikian itu.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Agama
Islam?
2.
Apa Tujuan di
Syariatkannya Agama Islam?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Untuk Mengetahui
pengertian dari Agama Islam.
2.
Untuk mengetahui kenapa
di Syariatkannya Agama Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Agama Islam.
Ada
dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama islam, yaitu
sisi kebahasaan dan peristilahan. Dari segi kebahasaan, islam berasal dari
bahasa arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan
damai. Dari kata salima, selanjutnya dirubah menjadi bentuk aslama yang berarti
berserah diri masuk ke dalam kedamaian.[1]
Dari
pengertian kebahasaan ini, kata islam dekat dengan arti kata agama yang berarti
menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan.[2]
Senada dengan itu Nurcholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah terhadap
tuhan merupakan hakikat dari pengertian islam. Sikap ini tidak hanya ajaran
tuhan terhadap hambanya, tetapi ia diajarkan olehnya dengan di sangkutkan
kepada alam manusia itu sendiri. Denngan kata lain ia di ajarkan sebagai
pemenuhan alam manusia, sehingga pertumbuhan perwujudannya selalu bersifat dari
dala, tidak tumbuh, apa lagi di paksakan dari luar, karena cara yang demikian
menyebabkan islam tidak otentik, karena kehilangan dimensinya yang paling
mendasar, mendalam yaitu kemurnian dan keikhlasan.[3]
Pengertian
islam demikian itu, menurut Maulana Muhammad Ali dapat dipahami dari firman
Allah yang terdapat pada ayat202 surat al-baqarah yang artinya” hai orang-orang
yang beriman masuklah kamu ke dalam islam secara keseluruhannya, dan jangan
kamu turuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan musuh yang nyata
bagimu.” Dan juga dapat dipahami dari ayat61 surat al-anfal yang artinya” dan
jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya dialah Allah yang maha mendengar lagi
maha mengetahui.
Dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kata islam dari segi kebahasaan
mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada tuhan dalam upaya
mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun
pengertian secara istilah akan kita dapati rumusan yang berbeda-beda.Harun
Nasution misalnya mengatakan bahwa, islam menurut istilah (islam sebagai
agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya di wahyukan tuhan kepada masyarakat
manusia, melalui nabi Muhammad SAW, sebagai rosul. Islam pada hakikatnya
membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal sau segi, tetapi mengenai
berbagai segi dari kehidupan manusia.[4]
Di
kalangan masyarakat barat, islam di identikan dengan istilah Muhammadanism dan
muhammedan. Peristilahan ini karena di nisbahkan pada umum nya agama di luar
islam yang namanya di sandarkan pada nama pendirinya. Penyebutan istilah
Muhammadanism dan muhammedan untuk agama islam menurut Nasruddin Radzak bukan
saja tidak tepat, akan tetapi secara paham Muhammad atau pemujaan terhadap
Muhammad, sebagaimana Sidharta Gautama sang Budha, atau paham yang bersal dari
Sidharta Gautama. Analogi nama dengan agama-agama lainya tidaklah mungkin bagi
islam.[5]
Berdasarkan
pada keterangan tersebut, maka kata islam menurut istilah adalah mengacu kepada
agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari
manusia, dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad SAW. Posisi nabi dalam agama
islam diakui sebagai yang ditugasi oleh Allah untuk menyebarkan ajaran islam
tersebut kepada umat manusia. Dalam proses penyebaran agama islam, nabi
terlibat dalam meberi keterangan, penjelasan, uraian, dan contoh praktiknya.
Namun keterlibatan ini masih dalam batas-batas yang dibolehkan tuhan.
Selanjutnya,
dilihat dari segi misi ajarannya, islam adalah agama sepanjang sejarah manusia.
Agama dari seluruh nabi dan rosul yang pernah diutus oleh Allah SWT. Pada
bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia. Islam itulah agama bagi Adam As,
nabi Ibrahim, nabi Yaqub, nabi Musa, nabi Daud, nabi sulaiman dan nabi Isya As.
Hal demikian dapat dipahami dari ayat-ayat yang terdapat dalam al-quran yang
menegaskan bahwa para nabi tersebut termasuk orang yang berserah diri kepada
Allah SWT.
B.
Tujuan
di Syariatkan Agama Islam
1.
Memelihara Agama
Dalam
tingkat dhauriyyah, memelihara agama yaitu memelihara dan melaksanakan
kewajiban keagamaan yang termasuk kategori primer, contoh shalat lma waktu dan
puasa ramadhan. Apabila kedua kewajiban ini diabaikan, maka eksistensi agama
akan terancam.
Memelihara
agama dalam tingkat hajiyyah, yaitu melaksanakan ketentuan agama untuk
menghindari kesulitan, seperti menjamak dan mengqasar shalat dan berbuka puasa
bagi orang yang sedang bepergian. Apabila ketentuan ini tidak dilaksanakan, tidak akan mengancam
kemaslahatan agama, tetapi hanya akan mempersulit orang yang bersangkutan.
Sementara memelihara agama
dalam tingkat tahsinniyah yaitu
sebagai penunjang atau penyempurna dalam melaksanakan kewajiban keagamaan,
misalnya melaksanakan shalat di awal waktunya, mengerjakan shalat tersebut
dengan cara berjamaah, mengerjakan puasa sunat atau ibadah-ibadah sunat
lainnya.
2. Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa dalam
tingkat dharuriyyah yaitu memenuhi kebutuhan pokok berupa makan dan minum guna
mempertahankan hidup. Apabila kebutuhan ini diabaikan, maka akan berakibat
fatal terhadap eksistensi jiwa manusia.
Memelihara jiwa dalam
tingkat hajiyyah adalah seperti diperbolehkan menikmati makanan dan
minuman yang lezat, memakai pakaian yang bagus, menikmati fasilitas hidup
seperti rumah, kendaraan dan lain-lain. Andaikan hal di atas tidak terpenuhi,
tidak akan membawa pada kebinasaan hidup manusia, melainkan hanya mempersulit
hidup itu sendiri.
Sedangkan memelihara
jiwa dalam tingkat tahsîniyyah adalah seperti mengatur cara dan tata cara makan
dan minum sesuai dengan etika yang diatur agama. Umpamanya, sebelum makan atau minum
membaca basmalah dan sesudahnya membaca hamdalah.
3. Memelihara Keturunan
Memelihara keturunan
dalam tingkat dharurriyah seperti disyariatkannya nikah dan diharamkan
zina serta disyariatkan hukuman zina. Jika aturan ini diabaikan maka eksistensi
dan kehormatan keturunan akan terancam.
Adapun memelihara
keturunan dalam tingkat hajiyyah yaitu seperti ketentuan menyebutkan
mahar dalam akad nikah. Begitu juga dengan hak menjatuhkan talak bagi suami dan
hak meminta cerai bagi istri manakala masing-masingnya merasa tidak harmonis
lagi hidup bersama pasangannya.
Selanjutnya, memelihara
keturunan dalam tingkat tahsinniyah adalah, seperti,
disyariatkannya meminang dan mengadakan pesta perkawinan (walimah).
Begitu juga himbauan untuk mempertimbangan kafa’ah dan lain-lain.
Mengabaikan hal-hal di atas tidak mengancam eksistensi keturunan, dan tidak
juga akan mempersulit orang yang akan melakukan pernikahan.
4. Memelihara Harta
Untuk memelihara
harta dalam tingkat dharurriyah seperti adanya aturan syariat tentang cara
memperoleh hak milik (harta), seperti dilarang mengambil hak orang lain dengan
cara yang tidak sah, misalnya mencuri dan merampok. Begitu juga dengan adanya
hukuman potong tangan bagi pencuri, tujuannya adalah untuk melindungi atau
memelihara harta. Apabila aturan-aturan tersebut tidak diindahkan, maka
perlindungan terhadap harta dan eksistensinya akan terancam.
Memelihara harta
dalam tingkat hajjiyah seperti dibolehkannya berbagai bentuk transaksi
dalam bidang muamalat. Seandainya cara ini tidak dibolehkan, atau tidak
digunakan, tidak akan mengancam eksistensi harta, tetapi hanya menyulitkan
orang dalam melakukan interaksi ekonomi.
Dalam tingkat
tahsinniyah pemeliharaan harta dapat diwujudkan dalam bentuk memelihara dan
meningkatkan kejujuran (moralitas) seperti tidak menipu, tidak menjual atau
membeli benda-benda yang dilarang memperjualbelikannya, dan lain-lain.
5. Memelihara Akal
Untuk memelihara akal
dalam tingkat dharûriyyah syarak
mengharamkan segala jenis minuman yang memabukkan. Begitu juga dengan adanya
hukuman bagi pemabuk, tujuannya adalah untuk melindungi agar eksistensi akal
tidak terancam.
Dalam tingkat hâjiyyah,pemeliharaan terhadap akal
seperti adanya anjuran untuk menuntut ilmu. Seandainya hal ini tidak dilakukan,
maka tidak akan mengakibatkan rusaknya akal, tetapi hanya akan mempersulit diri
orang yang bersangkutan dalam kaitannya dengan peningkatan potensi diri dan
pengembangan ilmu pengetahuan.
Sedangkan
pemeliharaan akal dalam tingkat tahsinniyah seperti menjaga kesehatan dengan
mengkonsumsi makanan atau minuman yang bergizi sesuai dengan kebutuhan. Di
samping itu, menghindarkan diri dari makanan yang tidak bermanfaat, seperti
jengkol dan petai.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia
hingga akhir zaman. Pengertian Islam secara harfiyah artinya damai,
selamat, tunduk, dan bersih. Kata Islam terbentuk dari tiga huruf, yaitu S
(sin), L (lam), M (mim) yang bermakna dasar "selamat" (Salama).
1.
Dalam kaitannya dengan dalil syarak, agaknya, perlu dibedakan antara dzarî`ah yang dimaksud, dengan
yang tidak dimaksudkan sebagai dalil atau hujah syarak.
2. Dzarî`ah yang dimaksudkan
sebagai dalil syarak adalah dzarî`ah
yang tidak disinggung oleh nash tetapi
mengarah kepada hukum yang dimaksud. Misalnya, tidakan-tindakan yang dapat
merangsang bangkitnya syahwat, merupakan dzarî`ah terhadap perbuatan zina. Tetapi dalam hal ini
tidak ada nash yang
melarangnya. Meskipun demikian, karena mengarah kepada hukum yang dilarang,
maka larangan yang berlaku pada yang dituju (zina) dapat diterapkan di sini
didasarkan pada dalil sadd al-
dzarî`ah.
3. Penggunaan sadd al- dzarî`ah sangat efektif untuk mengantisipasidampak-dampak
negatif dari perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Sebab, metode ini
tidak hanya berfokus pada legal formal suatu tindakan, tetapi juga pada akibat
suatu tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
Maulana Muhammad
Ali, islamologi(dinul islam) (jakarta:
Ikhtiar Baru-Van-
Hoeve,1980)
Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid
1.(Jakarta: UI Press,1979)
Nurcholis
Madjid, islam doktrin dan peradaban,
sebuah tela’ah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemordenan
(Jakarta: Paramadina, 1992)
Harun Nasution,islam ditinjau dari berbagai aspekny,jilid
1,
izz al-Dîn bin ‘Abd
al-Salâm, Qawâ`id al-Ahâm fî
Mashâlih al-Anâm, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th.
)
[1]. Maulana Muhammad Ali, islamologi(dinul islam) (jakarta:
Ikhtiar Baru-Van-
Hoeve,1980), hlm.2.
[2].Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid
1.(Jakarta: UI Press
1979), hlm.9.
[3].Nurcholis Madjid, islam doktrin dan peradaban, sebuah tela’ah
kritis tentang masalah
keimanan, kemanusiaan dan kemordenan (Jakarta: Paramadina,
1992), cet. 11. hlm.426.
Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th. ), jilid I, h. 63