BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sejarah tentang
perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai yang cukup panjang dan
kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan kompleksitas, namun sejalan
dengan itu upaya penggalian informasi mengenai perkembangan pemikiran keislaman
melalui data-data yang dihasilkan oleh para pemikir terdahulu (ulama terdahulu)
menjadi sesuatu yang mutlak harus terus dilakukan, mengingat tema yang
terkandung dalam naskah-naskah tersebut pun sangat beragam dan diantara tema
yang cukup dominan serta telah banyak menarik perhatian para peneliti naskah
adalah tentang tasawuf.
Secara sederhana dapat
dikemukakan, bahwa tasawuf merupakan aspek esoteric atau aspek batin yang harus
dibedakan dari aspek eksoterik atau aspek lahir dalam islam. Tasawuf adalah
istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisesme dalam islam, adapun
tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan tuhan,
sehingga dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada di hadiratnya, yang
intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh
manusia dengan tuhan dengan mengasingkan diri.
Dalam islam kita mengenal
dua aliran tasawuf, pertama, aliran tasawuf falsafi, dimana para pengikutnya
cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syatahiyyat), serta bertolak dari
keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan antara hamba dengan
tuhan. Kedua, aliran tasawuf amali, dimana para penganutnya selalu memagari
tasawuf dengan timbangan syariat yang berlandaskan al-quran dan as-sunnah,
serta mengaitkan keadaan dan tingkat rohaniah mereka dengan keduanya. Dan ada
juga yang membaginya menjadi tiga yaitu: tasawuf akhlaqi, tasawuf irfani, dan
tasawuf falsafi.
Diantara para sufi yang
menganut aliran tasawuf irfani adalah sufi yang terkenal dengan konsep fana,
baqa, dan al-ittihad yang kita kenal dengan nama Abu Yazid Al-Bustami.
1.2
Rumusan Masalah
1. Jelaskan biografi Abu
Yazid al-Bustami?
2. Jelaskan faham al-fana’
dan al-baqa’?
3. Jelaskan konsep ittihad?
4. Jelaskan karya-karya Abu
Yazid Al-Bustami?
1.3
Tujuan Makalah
1.
Bisa memahami biografi Abu Yazid Al-Bustami.
2.
Bisa memahami pengertian dari Al-fana’ dan Al-baqa’.
3.
Bisa memahami konsep dan pengertian ittihad.
4.
Bisa mengetahui dan memahami karya-karya Abu Yazid Al-Bustami.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Biografi Abu
Yazid al-Bustami
Sufi
Persia yang satu ini merupakan salah satu di antara generasi pertama kaum sufi
yang berperan penting dalam membangun sistematika sejarah tasawuf. Nama
lengkapnya yakni Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia lahir sekitar
tahun 200H/814M di Bustam, timur laut Persia. Di Bustam pulalah ia meninggal
pada tahun 216H/875M. Dan makamnya masih ada hingga saat ini. Makammya yang
terletak di tengah kota menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat.
Sebelum
Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam menurut madzhab Hanafi.
Abu Yazid adalah seorang Zahid yang terkenal. Baginya Zahid itu adalah
seseorang yang menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini
berjalan melalui tiga fase yaitu Zuhud terhadap dunia, Zuhud terhadap akhirat,
Zuhud terhadap selain Allah.
Sebagai
master mistik yang tidak ingin dipuja dan dikenal oleh banyak orang, terutama
bila dilihat dari sebagian perilakunya yang masuk dalam kategori Malamatiyah (kelompok
yang suka mencela diri sendiri). Abu Yazid adalah seorang sufi yang membawa
ajaran berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya
benyak bertentangan dengan para fuqaha sehingga berimplikasi keluar masuk
penjara. Namun demikian ia mempunyai banyak pengikut yang mana para pengikutnya
menamakan diri Taifur.
Memang
dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham
fana’ dan Baqa’ serta sekaligus pencetus paham al-Ittihad. Dan A.J. Arberry
menyebutnya sebagai first of the intoxicated sufis (Sufi
pertama yang mabuk kepayang).
Pada
umur 10 tahun Abi yazid mulai mengembara dalam mencari ilmu dan memilih hidup
sebagai seorang sufi. Ia berkelana ke berbagai daerah selama 30 tahun.
Sepanjang pengembaraannya, ia banyak belajar kepada guru-guru mistik, dan
selalu selektif dalam mencari pembimbing spiritualnya. Begitu pentingnya
kedudukan seorang guru bagi Abu Yazid al-Bustami.
Pada
usia 40 tahun ia mulai kembali ke daerah asalnya dan mulai memberikan
pengajaran spiritual kepada para pengikutnya. Banyak nama-nama sufi yang
melakukan kontk dengannya, mulai dari Abu Musa al-dyabuli, Ahmad bi Khadruyah,
Dhu al-Nun al- Misri, tetapi yang paling menjadi sorotan adalah ketika Abu
Yazid berguru pada Abu Ali al-Sindi. Yang mana menurut salah seorang peneliti
bahwa faham tentang fana’ ialah berasal dari Abu ali al-Sindi. Kejadian ini
pula membuat sejumlah orientalis beranggapan bahwa ajaran Abu Yazid itu
terpengaruh oleh ajaran mistik-filsafat Hinduisme India dan teks suci
Vedenta-nya, sebab Abu Ali al-Sindi berasala dari kawasan yang amat kental
dengan ajaran filasaf kuno tersebut.[1]
Sebagai seorang figur yang
mendapat kritik dari kalangan lahiriyah-literalisme, Abu Yazid sebetulnya
adalah seorang sufi yang tekun dalam menjalankan sariat bukan seperti yang dijelaskan
didepan bahwa ia mempelajari fiqih bermadzab Hanafi, berdedikasi moral yang
tinggi, dan mengagumi pribadi Nabi Muhammad SAW. Abu Yazid tidak meninggalkan sebuah tulisan,
tetapi para pengikutnya yang mengumpulkan ucapan
dan ajaran-ajarannya.[2]
Keluarga Abu Yazid
termasuk keluarga yang berada didaerahnya tetapi ia lebih memilih hidup
sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah
mempunyai kelainan. Ibunya berkata baha ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan
memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan
kehalalannya.
Abu Yazid Al-Bustami
adalah seorang tokoh sufi yang membawa paham yang berbeda dengan ajaran tasawuf
yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran tasawuf yang
dibawanya banyak ditentang oleh ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia
keluar masuk penjara. Abu Yazid meninggal di Bustam pada tahun 261 H/875 M.
2.2
Faham al-Fana’
dan al-Baqa’
Diantara
sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan adalah Abu Yazid
al-Bustami, yang sekaligus pembawa
ajaran fana’ dan baqa’.
Faham ini merupakan peningkatan dari faham ma’rifah dan mahabbah. Irfan
Abd al-Hamid Fattah mengatakan bahwa dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu
Yazid dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “ kesatuan wujud “
atau ittihad. Perkembangan ajaran Tasawuf ini digambarkan oleh
Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh.
Lalu
sampailah pada abad ke-3 orang membicarakan latihan rohani, yang dapat membawa
manusia kepada Tuhannya. Jika pada akhir abad ke-2 ajaran sufi merupakan
kezuhudan (asketisme), dalam abad ke-3 ini orang sudah meningkat kepada wusul dan ittihad dengan
Tuhan (mistisme). Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam
kecintaan, fana fil mahbub, brsatu dengan Tuhan, liqa’,
dan menjadi satu dengan Dia, ‘ainul jama’ sebagai mana yang
diucapkan oleh Abu Yazid Bustami.[3]
Sebelum
seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan (ittihad), ia harus terlebih
dahulu dapat melenyapkan kesadarannya melalui fana’. Pelenyapan
kesadaran diri itu dalam khasanah sufi itu diiringi dengan baqa’.
Secara
lugawi atau estimologis, fana’ berarti hancur, lebur, musnah,
lenyap, hilang atau tiada. Sementara baqa’ berarti tetap,
kekal, abadi, atau hidup terus (kebalikan dari fana’). Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua dan dalam
arti bahwa adanya fana’ menunjukan
adanya baqa’.[4]
Hal ini memang dapat dilihat dari
faham-faham sufi sebagai berikut:
a.
Jika kejahilan dari seseorang hilang (fana’),
yang akan tinggal (baqa’) ialah pengetahuannya.
b.
Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya,
yang akan tinggal ialah takwanya.
c.
Siapa yang menghancurkan sifat-sifat buruk,
tinggal baginya sifat-sifat baik.
d.
Siapa yang meninggalkan sifat-sifatnya, ia akan
mempunyai sifat-sifat Tuhan.[5]
Dalam
istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’an
al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’an al-nafs ialah
hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya
dan alam sekitar. Sehubungan dengan hal itu al-Qusyairi mendefiniskan fana’ sebagai
berikut : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain terjadi dengan
hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu. Sebenarnya
dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi
pada mereka dan pada dirinya.
Dr.
Ibrahim Basyuni setelah mengumpulkan beberapa definisi, ia merumuskan
pengertian fana’ ini sebagai berikut : Fana’ialah
kondisi batin yang merasakan hilangnya hubungan seseorang dengan alam dan
bahkan dengan dirinya sendiri, tanpa hilangnya sifat-sifat kemanusiaannya.
Sebenarnya dalam sepanjang
sejarah tasawuf, istilah fana’ kata Nicholson, memiliki
beberapa tingkatan, aspek dan semuannya dapat diringkas sebagai berikut:
a.
Transformasi moral yang dicapai melalui
pengendalian nafsu dan keinginan
b.
Abstraksi mental pada seluruh objek persepsi,
pemikiran, tinbdakan, dan perasaan yang kemudian
memusatkan pikiran pada Tuhan.
c.
Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran.
Tingkat fana’yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran
tentang fana’ itu sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para
sufi dikenal fana’dalam kefana’an atau lenyapnya kesadaran tetang
tiada.[6]
Selanjutnya kata
Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah lenyaplah kesadaran diri secara
penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa’yang artinya berkesinambungan
dalam Tuhan.
Dengan
demikian jelaslah bahwa dalam faham fana’ ini, materi manusia
tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang hanya kesadaran
akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan eksistensi jasad
kasarnya.
Abu yazid yang dalam
sejarah tasawuf dipandang sebagai sufi pertama yang membawa faham fana’ dan baqa’ ini
mengartikan fana’ sebagai hilangnya kesadaran aksistensi diri
pribadi (al-fana an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad
kasarnya sebagai manusia. Kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan,
bukan menyatu dengan wujudNya. Lebih jelas paham ini tersimpul dalam
kata-katanya : “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudia
aku tahu padaNya melalui dirinNya maka akupun hidup.” Dan katanya pula: “Ia
membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia
membuat aku gila padaNya dan akupun hidup. Aku berkata: gila pada diriku adalah
kehancuran dan gila padaMu adalah kelanjutan hidup.” [7]
Jadi kalau seorang sufi
telah mencapai al-fana’ an al-nafs, yaitu kalau wujud
jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi), maka yang akan
tinggal ialah wujud rohaninya, dan ketika itu dapatlah ia “bersatu” dengan
Tuhan. Dan
kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana
an al-nafs.
Dalam konsep fana’ ini
al-Qusyairi menguatkan dengan sebuah ilustrasi sebagai berikut: barangkali anda
pernah melihat seseorang datang menemui seorang penguasa atau seorang yang
berpengaruhpada saat seperti itu, orang tersebut terkadang lupa terhadap
dirinya dan orang-orang yang ada disekitarnya, karena perasaan yang bergejolak
yang dialaminya, sehingga kalau ditanya setelah ia keluar dari pertemuan itu
dan gejolak dalam dadanya telah mereda serta dirinya telah tenang dia tidak bisa
cerita tentang apa yang dialaminya.
keadaan
seperti yang digambarkan diatas dikuatkan oleh al-Qusyairi dengan ayat Alquran.
Beliau berkata Allah SWT berfirman : maka tatkala wanita –wanita itu melihatnya
mereka kagum pada ( keelokan rupa)-Nya. Dan mereka melukai (jari) tangannya
sendiri.[8]
fana’ menurut
kalangan sufi adalah karunia Allah sebagai pemberian kepada hambanya. Fana’
tersebut tidak bisa diperoleh lewat usaha atau latihan. Al-Kalabazi juga
menegaskan: “ seseorang yang mengalami keadaan fana’ bukanlah
disebabkan hilangnya kesadaran (pingsan), bukan karena kebodohan dan bukan pula
sirnanya sifat-sifat kemanusiaan dari dirinya sehingga dia menjadi malaikat
atau seorang spiritualis, tetapi fana’ dari penyaksian akal
hal-hal yang berkenan dengan dirinya.” dengan
demikian, keadaan fana’ yang dialami seseorang tidaklah menyebabkannya dapat
menanggalkan kewajiban agama. Karena itu dapatlah dipahami mengapa al-Thusi
dalam kitabnya al-Luma’ memperingatkan bahaya yang mungkin timbul dari
keadaan fana’, yaitu antara lain adanya anggapan bahwa kefanaan
adalah kefanaan sifat-sifat kemanusiaan dan dia bersifatkan dengan sifat-sifat
ketuhanan; padahal sifat kemanusiaan tidak dapat sirna dari manusia.
2.3
Konsep Ittihad
Konsep ittihad ini
merupakan imbas dari konsep sebelumnya
yaitu fana’ dan baqa’ sebagai mana telah diuraikan diatas.
Ittihad
ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapat sufi bahwa jiwa manusia
adalah pancaran dari Nur Ilahi. Atau dengan kata lain, ”Aku” nya manusia itu
adalah pancaran dari yang Mahasa Esa.[9]
Siapapun yang bisa membebaskan diri dari alam lahiriahnya atau mampu meniadakan
kepribadian dari kesadaranya, maka dia akan mendapat jalan menuju sumber yang
asal. Pengertian ittihad sendiri dalam sudut pandang
etimologi yaitu persatuan. dalam kamus sufisme berarti persatuan antara manusia
dengan Tuhan.
Menurut Prof. Dr. Harun
Nasution, yang dimaksud dengan ittihad ialah satu tingkatan tasawuf
di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan: suatu tingkatan
di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.[10]
Dalam
tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Dalam ittihad identitas
telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana’-nya
tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana’ dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan
Tuhan. Pengalaman kedekatan Abu
Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam
ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata:
“Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku,
aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya
untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu.
Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka
itu.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam
ungkapan berikut: “Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah
makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku
adalah Engkau.”
Terputus munajat. Kata
menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau.
Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu.
Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab,
aku adalah aku.”Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al
Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata
demikian.
Suatu
ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya,
“Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata,
“Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan
Maha Tinggi. Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara
sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada
Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan
dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[11]
Sebenarnya, apa yang
dikatakan oleh Abu Yazid, tidak berarti ia sebagai Tuhan, tetapi kata-kata itu
adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam
keadaan fana’an nafs.
Abu
Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses Ittihad di
sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui
reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang
disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan, dia tidak
melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang
dilihat.
Jadi sebenarnya Abu Yazid
tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataannya menimbulkan berbagai
tanggapan. At-Thusi
mengatakan: Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah
atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan. Seorang
Sufi yang sedang sakaw tidak bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam
qalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan kata-kata yang
sulit dipahami oleh pendengarnya. Oleh sebab itu, menurut at-Thusi, bila
seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan
berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu tidak dapat
sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim
jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia
bersifatkan sifat-sifat ketuhanan.
Terlepas dari semua itu,
hal yang paling utama dan mungkin bisa membebaskan Abu Yazid dari justifikasi
negatif yang ditimpakan padanya adalah bahwa ungkapan Syatahat
itu hanya muncul ketika Abu Yazid sedang dalam keadaan “mabuk ilahi”; tidak
sadar dan terjebak dalam situasi fana’. Karena itu,
tidaklah salah jika Abu Yazid dikenal sebagai sufi pertama yang berhasil
mengoperasikan gagasan fana’ dalam sistematika ajaran
tasawufnya.
Sejauh
yang tampak dari ucapan eksperimental itu, terlibat fase bertahap yang dialami
Abu Yazid dalam upayanya mencari Allah. Akan tetapi yang paling dramatis adalah
beritanya yang menyebutkan jika ia sudah pernah terbang tinggi (Mi’raj)
menuju keharibaan Allah. Mengenai hal yang satu ini, Abu Yazid adalah sufi
pertama yang memvisualisasikan pengalaman spiritualnya dalam tajuk mi’raj,
yakni sebuah perjalanan surgawi yang dahulu juga pernah dilakukan Nabi
Muhammad.
Diceritakan
Abu Yazid telah mengarungi tujuh tingkatan surga, menolak segala tawaran hadiah
yang ada di dalamnya, dan hanya berkeinginan untuk bertemu Allah SWT. Ia
mengutarakan pengalamannya ini: “... dan ketika Allah sepenuhnya mengetahui
ketulusanku bahwa aku hanya ingin bertemu dengan-Nya, maka ia memanggilku, Mari, datanglah
mendekat pada-Ku. Lihatlah dataran kemuliaan-Ku dan area cahaya-Ku. Duduklah di
atas karpet kesucian-Ku sampai kau melihat lembutnya ke-Akuan-Ku. Kamu adalah
pilihan-Ku, kekasih-Ku, dan ciptaan-Ku yang paling bagus”. Mendengar
perkataan-Nya itu, aku merasa seakan-akan meleleh seperti timah yang sedang
mencair. Lantas Dia memberiku minuman dari mata air kasih sayang-Nya dalam
sebuah cangkir keakraban. Lalu membawaku ke dalam kedaan yang tidak bisa ku gambarkan.
Dia membawaku mendekat kepada-Nya, sangat dekat; hingga lebih dekat daripada
jiwa dengan sebatang tubuh”.
Pengalaman mi’raj ini
dijadikan Abu Yazid sebagai sufi yang paling unik dan eksentrik untuk ukuran
masanya, bahkan sesudahnya. Bersamaan dengan hal itu, puncak dari segala
kontroversial Abu Yazid tentu saja adalah keluarnya sejumlah syatahat dari
mulutnya. Sejumlah kalangan kemudian mengidentifikasi ucapan-ucapan ekstase Abu
Yazid sebagai bentuk persatuan (Ittihad) antara Abu Yazid dengan Tuhan.
Abu Yazid dilaporkan
pernah berkisah di suatu kesempatan, Ia mengangkatku ke atas, menempatkanku di
depan-Nya, dan berkata kepadaku: “Wahai Abu Yazid, makhluk ciptaan-Ku pasti
akan senang untuk mencarimu.” Lalu aku berkata: “Hiasilah aku dengan sifat tunggal-Mu
(Wahdaniyah), pakaianilah aku dengan subjektifitas-Mu (Ananiyah),
dan bawalah aku menuju keesaan-Mu (Ahadiyah), sampai kelak ketika
ciptaan-Mu melihatku, maka mereka akan berkata, “Kami sudah melihatmu,” padahal
Engkaulah yang ada di situ, dan aku tidak berada dihadapan mereka”.
Atau
sebagaimana yang terjadi di lain waktu, tentang Abu Yazid yang sedang
kedatangan tamu. “Seseorang mendatangi Abu Yazid dan mengetuk pintu rumahnya.
Abu Yazid bertanya, “Siapakah yang hendak kau cari?” Orang itu menjawab, “Abu
Yazid”. Abu Yazid lantas menyahut, “Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid;
yang ada dalam jubah ini hanyalah Allah SWT.
Ia juga berkata; “Maha
suci aku, Maha suci aku (Subhani, Subhani) alangkah agungnya
kebesaranku. Sesungguhnya
aku adalah Allah, tidak ada lagi Tuhan selain aku; maka menyembahlah kepadaku”.
Abu Yazid juga memberikan
pesan tentang kedudukan fana’; “Tidak ada hal yang lebih baik bagi
seorang manusia daripada menjadi ‘tidak ada’, tanpa asketisme, tanpa teori, dan
tanpa praktek. Ketika seseorang tanpa semuanya, maka sebenarnya ia dengan
semuanya.”
“Makhluk hanyalah sebuah
subjek menuju keadaan, tapi orang yang memilih menjadi gnostik tidaklah
memiliki keadaan, sebab bekasnya telah terhapus dan indivualitanya sudah
melebur dalam individualitas yang lain. Jejaknya juga ditutupi dengan jejak
yang lain.”
Sepertinya sudah ada hal
yang lumrah bila syatahat itu kemudian hanya bisa terjadi pada
sufi yang sudah tidak mengenali dirinya sendiri. Abu Yazid bisa sampai pada ‘stasiun’ ini dikarenakan
ia telah melenyapkan dirinya hingga untuk sementara waktu ia sanggup mencapai
dunia kesatuan antara dia dengan Allah. Kesatuan yang dialaminya tentu hanya
bersifat rohaniah semata.
Seseorang
yang dalam keadaan tidak sadar tentu tidak bisa dikenakan hukum atas segala
perkataannya. Ketidak sadaran atau fana’menjadi basis yang sangat
penting dalam memahami kemunculan syatahatsehingga substansi
kekontroversialannya sebetulnya bermuara dari ketidakmampuan seorang sufi untuk
mengedalikan dirinya, karena dirinya tersebut telah menjadi tidak ada. Kondisi
ini sering diiliustraasikan dengan air yang bervolume banyak, tetapi mengalir
dalam sungai yang sempit. Sebagai efeknya tentu terjadi luapan air yang
menggenang ke sejumlah tempat.
Akibat
ini pula, terdapat penafsiran lain yang menilai keluarnya syatahat itu
bukanlah ucapan Abu Yazid sendiri, melainkan sabda Allah yang disuarakan
melalui perantara lidah Abu Yazid. Abu Yazid telah mempraktekkan hampir
35 tahun untuk bersikap zuhud dan belajar membumi-hanguskan kepribadiannya.
Layaknya seekor ular yang melepaskan kulit luarnya, sehingga yang tersisa
seakan-akan yang tersisa dalam dirinya hanyalah pengaruh Tuhan yang senantiasa
menggerak-gerakkan kadar kemauannya.
Sufi
yang mengeluarkan syatahat adalah ibarat sebuah terompet yang sedang
ditiup oleh nafas Tuhan. Tuhanlah yang
memainkan nada-Nya sendiri. Saat Abu Yazid berteriak, Subhani maka hal itu
merupakan perkataan Tuhan melalui dirinya. Sampainya rasa bersatu dengan
Tuhan agaknya menjadi perhatian khusus tatkala sebagian kalangan menganggap
kondisi seperti itu adalah puncak dari segala perjalanan spiritual. Lebih
menakjubkan lagi bila memperhatikan maqam fana’ yang dialami
Abu Yazid sehingga sanggup terbang menuju keharibaan Tuhan.
Sewaktu timbulnya
ucapan syatahat, di samping terjadi dalam keadaan tidak sadar (fana’),
Abu Yazid pada dasarnya tidak berkenaan terhadap munculnya ucapan-ucapan
eksentrik seperti itu. sebab ada juga riwayat yang menyebutkan ketika ia
menyadari apa-apa yang diucapkannya itu, Abu Yazid lantas beristighfar
sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak dalam situasi itu dikarenakan
penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang Maha Agung dan tidak ada sesuatu yang
dilihatnya selain Tuhan.
Pada hakikatnya, semua
yang dialami Abu Yazid itu hanyalah sebagian dari karunia yang diberikan Allah,
seperti yang tersirat dalam pengakuannya, “Aku memahami Tuhan berkat Tuhan, dan
aku memahami sesuatu selain Tuhan berkat cahaya (Nur) yang dipancarkan
Tuhan.”
Puncak drama dari akhir
kehidupan Abu Yazid adalah perubahan pola dan sikap misktik Abu Yazud yang
tidak lagi bisa dikategorikan pada arus kelompok ’sufi mabuk’ (sukr);
tidak juga menganggap petualang teofaniknya sebagai legenda yang paling agung.
2.4
Karya-karya Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid tidak
meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan dan ungkapan
mengenai pemahaman tasawufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat
dalam beberapa kitab tasawuf klasik, seperti ar-risalah al-qusyairiyyah,
tabaqat as-sufiyyah, kasyf al-mahjub, tazkirah al-auliya, dan al-luma.
Di antara ungkapannya disebut oleh kalangan sufi dengan istilah satahat, yaitu
ungkapan sufi ketika berada dipintu gerbang ittihad (kesatuan dengan Allah
SWT). Ucapan dan ungkapannya yang digolongkan satahat adalah seperti berikut:
“maha suci aku, alangkah
agung kebesaranku.”
“tiada tuhan selain aku,
maka sembahlah aku.”
“aku adalah engkau, engkau
adalah aku.”
Suatu ketika seseorang
melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya, “siapa yang
engkau cari?” orang itu menjawab, “Abu Yazid’, Abu Yazid baerkata. “pergilah,
dirumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan mahatinggi.”
Secara harfiah,
ungkapan-ungkapan Abu Yazid atau yang juga dikenal Bayazid itu adalah pengakuan
dirinya sebagai tuhan dan atau sama dengan tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan
demikian maksudnya. Dengan ucapannya aku adalah engkau bukan ia maksudkan
akunya Bayazid pribadi. Dialog yang terjadi sebenernya adalah monolog.
Kata-kata itu adalah firman tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang
sedang dalam keadaan fana’an nafs.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami lahir sekitar
tahun 200H/814M di Bustam, timur laut Persia. Di Bustam pulalah ia meninggal
pada tahun 216H/875M.
2.
sejarah perkembangan tasawuf Abu Yazid
dipandang sebagai pembawa faham fana’ dan Baqa’ serta sekaligus pencetus paham
al-Ittihad.
3.
Irfan Abd al-Hamid Fattah mengatakan bahwa dalam sejarah perkembangan
tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “ kesatuan
wujud “ atau ittihad.
4.
Secara lugawi atau estimologis, fana’ berarti
hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang atau tiada.
5.
baqa’ berarti tetap, kekal, abadi, atau hidup
terus (kebalikan dari fana’).
6.
Al-Kalabazi juga menegaskan: “ seseorang yang mengalami keadaan fana’ bukanlah
disebabkan hilangnya kesadaran (pingsan), bukan karena kebodohan dan bukan pula
sirnanya sifat-sifat kemanusiaan dari dirinya sehingga dia menjadi malaikat
atau seorang spiritualis, tetapi fana’ dari penyaksian akal hal-hal
yang berkenan dengan dirinya.”
7.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihad
ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan: suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu.
3.2 Saran
Segala puji bagi Allah,dengan kekuatan dan
kekuasaan yang di anugerahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini dengan segala kekurangan.
Akhirnya
penulis sadar bahwa dalam penulisan dan
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan.maka saran dan
keritik yang akan membangun sangat penulis harapkan. Demi memberikan manfaat
bagi perkembangan khasanah keislaman dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Aun
Falesten. 2007. Tasawuf
Falsafi Persia dimasa Islam klasik.Surabaya:Dakwah
Digital Press.
Aboebakar Atjeh. 1984. Pengantar Sejarah Sufi&Tasawuf. Solo:
Ramadhani.
Asmaran AS, 1994. Pengantar
Studi Tasawuf. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Harun
Nasution, 1973. Filsafat
dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
A. Bachrun
Rif’i dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf.
[1]
Aun Falesten. Tasawuf Falsafi
Persia dimasa Islam klasik.(Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), 92-93.
[2]
Aboebakar Atjeh, Pengantar
Sejarah Sufi&Tasawuf. (Solo: Ramadhani, 1984), 259.
[3]
Ibid, 57.
[5]
Harun Nasution, Filsafat
dan Mistisme Dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 80.
[8]
QS. 12:31